Dari Langganan Menjadi Pembantu ART
12 mins read

Dari Langganan Menjadi Pembantu ART

Gairah Dewasa Dari Langganan Menjadi Pembantu ART, Sebelum menikah, hobi saya adalah menjelajah panti pijat. Sudah puluhan PP dan tak terhitung lagi WP yang sudah pernah saya rasakan. Tapi memang ada satu WP di dekat terminal bus kota S yang jadi langganan. Selain murah, menurutku dia lebih tulus dalam melayani. Setelah menikah, saya memutuskan untuk menghentikan semua kebiasaan itu.

Semua no telp WP saya hapus dari memori HP. Nomor HP juga ganti. Saya sangat mencintai istri saya. Apalagi dia adalah wanita pujaan saya sejak SMP. Lama saya incar baru bisa ditaklukkan setelah saya berumur 28 tahun dan dia sudah menjadi janda. Tika, nama istriku, belum punya anak. Suaminya meninggal karena kecelakaan pesawat. Begitu mendengar Tika menjada, saya langsung mendekat.

Baca Juga : Cerita Seks Ngewe Pembantu Muda Perawan

Setahun lebih pendekatan, akhirnya Tika luluh. Hanya sebulan pacaran langsung saya ajak menikah. Saya berjanji pada diri sendiri tidak akan lagi ke PP atau bahkan lokalisasi. Stop semua. Tobat. Saya tidak masalah dia janda. Toh dia wanita yang saya cintai sejak lama dan saya sudah tidak perjaka. Sudah puluhan meki saya rasakan. Setahun pertama menikah saya menjalani hari-hari yang penuh kebahagiaan. Tika sangat bergairah di ranjang. Wajah dan tubuhnya sempurna bagiku. Tinggi 160 cm, berat 50 kg, rambut sebahu, berjilbab, dan dada 34 B. Hampir tiap hari kami melakukan hubungan suami istri (tentu kecuali saat menstruasi).

Rasanya tak pernah bosan. Oh ya, aku dan Tika sama-sama kerja. Aku kerja di perusahaan percetakan surat kabar. Sebagai manajer percetakan, saya bekerja sore hingga malam. Berangkat jam 17.00 dan pulang paling cepat jam 01.00 dini hari. Biasanya saya dan Tika melakukan pertempuran pada subuh. Atau kalau dia pulang kantor lebih cepat. Tika kerja di perusahaan periklanan. Biasanya dia pulang jam 16.00 dan sering pulang lebih awal.

Setahun menikah, Tika mengeluh takut kalau malam sendirian. Di juga capek mengurus rumah sendirian. Karena itu dia minta izin untuk mencari pembantu rumah tangga. Karena kasihan dan tak tega melihat istri tercinta, aku langsung setuju. ”Aku minta tolong tante Ayu untuk mencarikan,” katanya. Tante Ayu adalah adik dari ibunda Tika. Dia tinggal di Jombang dan menjadi langganan saudara-saudara untuk minta dicarikan pembantu.

Seminggu setelah itu, Tante Ayu menelepon istriku. Katanya sudah dapat pembantu. Tika pun langsung semringah. ”Pembantunya sudah ada, besok datang,” kata Tika.

Hari yang dinanti tiba. Saat itu hari Minggu. Tika sudah di teras menanti kedatangan pembantu baru kami. Aku melakukan rutinitas bersepeda setiap minggu dengan bapak-bapak di kompleks. Saat bersepeda, Tika telp. ”Mas, pembantunya sudah datang. Namanya Jeni. Anaknya bersih kok. Manis juga,” kata Tika. Aku tak begitu peduli dan menanggapi dengan biasa saja dan meneruskan bersepeda.

Saat tiba di rumah, aku langsung mandi dan kemudian istirahat di kamar. Tak sempat kenalan dengan pembantu baru. Hanya sejam aku tidur, Tika sudah menggangguku minta jatah. Kami pun bertempur sampai dua ronde. HAbis itu tidur lagi karena kecapekan.

Jam 13.00 Tika membangunkan aku untuk makan siang. Setelah duhur, aku menuju meja makan. Baru nasi putih yang tersaji. ”Lauknya masih di dapur. Bentar ya,” kata Tika lantas beranjak ke dapur. Aku menunggu di meja makan sambil baca koran. ”Ini teh hangatnya Pak.” Tiba-tiba ada suara perempuan, bukan istriku. Aku yakin itu pasti pembantu baruku. ”Oh ya,” kataku sambil terus membaca koran. Aku tidak melihat wajahnya. Dan dia pasti tidak melihat wajahku karena terhalang koran. Begitu juga saat dia membawakan lauk ke meja makan, aku juga tak melihat. Baru setelah istriku mengajak makan, koran kulipat dan kami pun makan.

Setelah makan, Tika ke dapur untuk membuatkan jus wortel kesukaanku. Selesai membuat jus wortel, Tika mendapaat telepon dari temannya. ”Jen, tolong jus-nya antar ke bapak. Aku terima telepon dulu,” kata Tika sambil berjalan ke kamar. Mungkin pembicaraannya agak privat. Aku sudah pindah duduk di depan TV. Kemudian langkah ringan perempuan mendekat. ”Ini jusnya Pak.” Aku menoleh ke arah suara itu.

Duerrr mataku langsung terbelalak. Jeni juga tak kalah kaget. Jus di tangannya sampai tumpah sebagian. Aku kenal betul dengan pembantuku ini. Dulu dia primadona di PP dekat terminal. Langgananku sewaktu masih membujang. Wajahnya manis, kulit sawo matang. Mungil tapi sekel. Bobbs-nya 32B. Ya sekelas Kiky kalau di BM. Dulu di PP namanya Jesica. Aku cepat menguasai situasi. Aku pegang tangannya dan berbisik. ”Lupakan masa lalu kita. Jaga rahasia ya. Aku sudah tobat kok,” kataku sambil memberi kode jari telunjuk di bibir. ”Saya juga sudah tobat,” kata Jeni.

Hari itu aku tak konsen lagi nonton TV. Kalut rasanya. Bagaimana mungkin aku punya pembantu yang ternyata bekas WP langgananku. Dan konyolnya lagi, dia memakai kaus Twin Tower Kuala Lumpur yang dulu aku belikan saat dia aku ajak jalan-jalan ke Malaysia. Akhirnya aku memutuskan untuk cepat-cepat ke kantor menenangkan diri. Aku pamit ke istri dipanggil bos. Aku ingat, tiga tahun lalu aku bawa Jesica alias Jeni ke hotel. Waktu itu dia bilang mau pulang kampung. Dia ingin bertobat. Sudah bosan jadi WP. Waktu mau pulang kampung, dia telepon dan aku transfer uang Rp 5 juta sebagai bekal. Siapa tahu bisa untuk modal usaha.

Senin pagi rutinitas terjadi seperti biasa. Aku menemani Tika sarapan. Jeni menyiapkan sarapan. Dia juga berlaku wajar, tidak terlihat canggung. Sehingga Tika tidak akan mengira kalau kami pernah kenal. Aku juga bersikap sok jaim kepadanya. Pagi itu aku antar Tika ke kantor. Setelah mengantar, aku tak langsung pulang. Aku ragu pulang karena ada Jeni di rumahku.

Baru jam 12.30 aku pulang ke rumah. Jeni sudah menyiapkan makan siang. Aku pun makan siang. Jeni aku ajak makan siang bersama. Sengaja aku lakukan karena aku ingin ngobrol. ”Kamu gimana ceritanya bisa sampai kerja di sini?” tanyaku. Jeni cerita, setelah pulang ke kampung dia mendaftar sebagai TKI di Malaysia. Tapi tidak kerasan. Apalagi dia punya anak di Jombang. Kangen sama anak terus.

Akhirnya dia pulang. Tapi karena tabungan menipis, dia harus kerja lagi. Tp dia bertekad tak mau jadi WP lagi. Suatu ketika dia ketemu Tante Ayu yang tak lain adalah tetangganya di desa. Sama Tante Ayu ditawari kerja jadi PRT dan Jeni lsg setuju. Perjanjiannya dia bisa pulang sebulan sekali untuk menengok anaknya yang sudah kelas 1 SD. Siang itu aku bikin kesepakatn dengan Jeni untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas dilakukan. ”Kita sama-sama sudah tobat. Kita jaga sama-sama ya,” kataku. Jeni mengangguk. Masalah beres pikirku.

Tapi masalahnya, setiap pagi sampai sore saya hanya berdua dengan Jeni di rumah. Ibarat batu kalau terus ditetesi air akan tergerus juga. Dan karena sebelumnya sudah akrab, kami pun ngobrol santai ketika tidak ada istri di rumah. Lama-lama hasrat lama tumbuh. Apalagi belakangan Jeni sering hanya memakai celana pendek dan kaus u can see longgar kalau lagi kerja.

Tapi kalau ada istriku, dia memakai baju panjang. Sepertinya dia sengaja menggodaku. PErnah aku peringatkan. Tapi hanya bertahan dua hari, kebiasaan memakai pakaian minim diulangi lagi. Malah kini dia tidak memakai pakaian dalam. Itu bisa kau pastikan karena u can see nya longgar jadi dari samping kadang-kdang terlihat buah dadanya. Putingnya juga terlihat menonjol. Trus di celananya tidak terlihat ada garus CD. Dugaanku dia tak pakai CD atau mungkin hanya pakai G string.

Tiap hari aku jadi memperhatikan Jeni. Kadang sampai adik gw tegang. Kalau sudah gitu aku ke kamar untuk membuang hajat secara self service.

Suatu hari, aku lihat Jeni mengepel lantai. Aku langsung horny dan masuk kamar. Kubukan semua bajuku dan aku sibuk mengocok rudal kesayanganku membayangkan Jeni. Lagi enak-enaknya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. opps aku lupa mengunci pintu. Jeni sudah berdiri di depan pintu. ”Ngapain pakai onani segala, wong ada sasaran nganggurm” kata Jeni sambil tertawa genit.

”Kita kan sudah janji gak akan ada hubungan,” kataku. Jeni menghampiriku dan mendorong tubuhku yang bugil ke tempat tidur. Dia pun langsung melucuti pakainnya sendiri. Benar dugaanku. Dia tidak memakai pakain dalam. ”Sudah kupakan janji gombal itu. Ayo puasin aku,” kata Jeni. Dia langsung mencium bibirku. ”Jen Jen katanya tobat,” aku mencoba mengingatkan. ”Gimana mau tobat kalau tiap subuh dengar erangan kamu sama istrimu. Aku dah lama gak ngent*t tahu,” kata Jeni.

Sambil mencium bibirku dan leherku, tangan kanan Jeni sudah mengelus rudalku. Lalu perlahan bibirnya turun ke bawah. Lidahnya memutar di perut dan terus turun sampai ke pen*s. ”Hmmm masih seperti yang dulu. Lurus tegak, berotot dan keras. Siapa yang bisa melupakan rudal kayak gini,” kata Jeni. Dia pun mengulum perlahan, dia nikmati betul seperti anak kecil menikmati es krim. Aku sudah lupa dengan janji-janjiku untuk meninggalkan dunia perlendiran. ”Ah aku kan dulu janji gak ke PP atau lokalisasi lagi. Kalau di rumah kan gpp,” kataku dalam hati.

Puas di BJ Jeni, ganti aku yang menjilati mekinya. ”Tahu gak yang (dia mulai memanggiku dengan sayang seperti saat di PP dulu). Aku terakhir ngent*t ya sama kamu di hotel itu,” kata Jeni. ”Massa sih?” kataku gak percaya. ”Demi Allah. Habis itu aku benar-benar berhenti,” katanya. 10 menit aku jilmek Jeni kelonjotan. Aku sudah hapal betul letak G-spot Jeni. Diapun mengalami orgasme.

Pertempuran dilanjutkan dengan WOT. Pelan-pelan dia jongkok, tangan kannnya memegang kont*l ku untuk dimasukkan ke mekinya. Blessss pantatnya turun sampai kon*ol ku amblas. Lalu dia melakukan gerakannaik turun. Tangannaya kebelakang bertumpu pada pahaku. Sementara tanganku sibuk meremas tokednya. Kadang dia membungkuk. Dalam posisi WOT kami berciuman. Kalau dia capek menggenjot, gantian aku yang menggenjot dari bawah. ”’Ohhhhh augghhhh enak banget Yang….aku kangen kamu,” kata Jeni. ”Meki kamu juga enak Jen. Masih nyedot kayak vacum cleaner,” kataku.

Posisi berbalik. Tetap WOT tapi dia membelakangiku. Ini posisi favorit Jeni. Dengan posisi ini dia selalu orgasme. Katanya pakai gaya itu bisa pas di G-spotnya. Hanya lima menit di posisi itu, Jeni sudah O. ”’Ahhhhh yesss aku keluaarrrrrr,” teriak Jeni. Dia langsung bangkit dan mengulum kont*l ku. Tak lama kau juga keluar croot-crotttt. ”Wah masih banyak, tadi pagi kan kamu main sama istrimu,” kata Jeni.

Setengah jam istirahat, kami melanjutkan ronde kedua. Kali ini memakai gaya doggy style kesukaanku dan diakhir dengan missionary. Habis itu kami tidur berpelukan di ranjang yang selama ini menjadi medan pertempuranku dengan istri. ”Makasih ya Yang…aku puas banget,” kata Jeni.

Setelah itu, ngeseks bersama Jeni, pembantuku menjadi rutinitas setiap hari. Tp kami tak melakukannya di kamarku lagi. Takut kualat. Kami melakukan di kamar Jeni atau di ruang TV, ruang tamu. Kamar ta tamu, dapur, kamar mandi, atau di halaman belakang rumah di atas rumput beralas tikar.

Istriku tak pernah curiga. Sebab kalau ada istriku, Jeni bersikap sangat wajar. Dia juga hormat kepada istriku. Pekerjaannya juga selalu beres. Tentu karena aku juga membantu mengepel atau membersihkan rumah. Bahkan istriku begitu sayang kepadanya. Oleh istriku Jeni juga sering diajak pergi belanja dan dibelikan pakaian. Kalau pergi keluar, Jeni juga memakai kerudung seperti istriku.

Sudah tiga tahun Jeni kerja di rumahku. Semua aman-aman saja. Kehidupan seks dengan istriku juga tetap berjalan lancar. Sampai istriku hamil dan melahirkan anak pertama kami. Jeni yang menjaga dan merawat anakku dengan penuh kasih sayang saat Tika kerja. Tapi aku dan Jeni tak mau bersetubuh di dekat my baby. Rasanya seperti punya dua istri yang akur.

Oh ya, Tika pernah ingin punya baby sitter, tapi aku tolak. Aku bilang Jeni sudah bisa menghandle semua.

One thought on “Dari Langganan Menjadi Pembantu ART

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *