Cerita Sektretaris Baruku Yang Ciwai
Cerita Nakal – Aku baru saja merekrut sekretaris baru karena sekretarisku yang lama sudah malas-malasan dan kurang profesional, apalagi setelah dia menikah. Oh ya, hampir lupa, aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang sedang naik daun, tepatnya di sebuah bank swasta. Tak kuduga, sekretaris baruku itu memang bukan saja masih perawan, tapi rajin, pintar dan yang paling penting lagi adalah bodinya yang montok dan parasnya yang cantik, dengan kulit putih bersih tanpa cela. Dari pandangan mata pertama kali ketika kuwawancarai aku langsung terpikat dan dari sorot matanya serta sikapnya terhadapku, aku juga faham jika dia suka padaku.

Wah, cocok deh, rasanya pada minggu pertama hari-hari di kantor begitu indah dan rasanya sangat cepat berjalan. Namanya Indah Diana Renjana, oh… rasanya kerjaku semakin bersemangat. Setiap kali dia datang ke kamar kerjaku membawa surat atau minumanku, aku mulai menancapkan busur-busur asmaraku dari mulai menggenggam tangannya, mencium hidung dan keningnya tetapi masih cukup sopan, jangan sampai dia kaget atau marah. Tapi aku yakin, dia pun ingin diperlakukan demikian karena ternyata dia tak menolak bahkan kerjanya semakin rajin dan cekatan bahkan tak pernah bolos (termasuk ketika datang matahari, eh datang bulan).
Baca Juga : Mesum Dengan Ibu Wali Murid
Kupikir tak apa, malah aku senang, toh aku belum mau pakai, yang penting bisa mencium bibirnya, hidungnya, keningnya dan dari hari ke hari kami semakin tenggelam dalam asmara. Ketika itu, tahun 1982, dia sudah punya pacar bahkan pacarnya terus memintanya untuk segera menikah. Herannya, menurut pengakuannya, dia semakin benci dan tidak berniat kawin dengan pacarnya itu. Weleh-weleh- weleh, rupanya jerat cintaku telah merasuki jiwanya.
Sampai suatu hari (3 bulan kemudian), aku memberanikan diri untuk mengajaknya pergi ke luar kota di hari minggu, karena tidak mungkin kami mencurahkan cinta kasih kami di kantor. Dia setuju dan berjanji untuk menungguku di sebuah pasar swalayan tak jauh dari rumahnya. Maka ketika mobil kami meluncur di toll Jagorawi menuju Bogor dan kemudian ke Pelabuhan Ratu Sukabumi, hati kami semakin berbunga-bunga sebab kami akan dapat mencurahkan segalanya tanpa takut diketahui orang atau pegawai lain di kantor maklum kedudukanku sebagai kepala cabang bank swasta terkemuka di samping sudah beristeri dan beranak dua.
“Ning….” kataku pelan ketika mobilku keluar pintu toll.
“Ada apa Pak?” Diana menjawab manis, sambil melirikku.
“Sekarang jangan panggil bapak, panggil saja Papah, biar nanti orang mengira kita ini suami-isteri. ” Dia mencubit pahaku sambil tersenyum manja, dan tangannya kutahan untuk tetap memegang pahaku, dia mendelik manja tapi juga setuju.
“Pah… kamu nakal deh”, sambil mencubit sekali lagi pahaku. Wah, rasanya aku seperti terbang ke langit mendengar Diana mengatakan “Papah” seperti yang kuminta. Sebaliknya, aku pun mulai saat itu memanggil Diana dengan sebutan “Mamah” dan kami saling memagut cinta sepanjang perjalanan ke Pelabuhan Ratu itu, laksana sepasang sejoli yang sedang mabuk cinta atau pengantin baru yang akan ber-“honey-moon” , sehingga tak terasa mobilku sudah memasuki halaman Hotel Samudera Beach. Pelabuan Ratu yang berada di tepi Samudra Hindia dengan ombaknya yang terkenal garang. Laksana suami isteri, aku dan Diana masuk dan menuju “reception desk” untuk check-in minta satu kamar yang menghadap ke laut lepas. Petugas resepsi dengan ramah dan tanpa rewel (mungkin karena aku ber-Mamah-Papah dan terlihat sebagai suami isteri yang sangat serasi, sama ganteng dan cantiknya) segera memberikan kunci kamar, sambil minta seorang room-boy mengantar kami ke ruangan hotel di lantai tiga kalau aku tak salah. Segera kututup pintu kamar, di-lock sekaligus dan pesan supaya kami tidak diganggu karena mau beristirahat. Aku dan Diana duduk berhadapan di pinggir tempat tidur sambil tersenyum mesra penuh kemenangan.
Akhirnya, angan-angan yang selalu kuimpikan untuk berdua-duaan dengan Diana ternyata terlaksana juga. Kukecup hidungnya, keningnya, telinganya, Diana menggelinjang geli. Kusodorkan mulutku untuk meraih mulutnya, dia terpejam manja dan ketika bibir kami bersentuhan dan kuulurkan lidahku ke bibirnya, ternyata dia langsung menyedot dan melumat lidahku dalam-dalam. “Ooohhgghh, Paahh”, Diana mulai terangsang dan merebahkan badannya, aku segera saja menggumulinya dan menaiki badannya, Diana melenguh dan terpejam, kemaluanku bergesekan dengan selangkangannya dan bau harum parfumnya semakin merangsang nafsuku. “Paahh, kita buka pakaiannya dulu, nanti lecek.” Oh, harum sekali mulutnya, kulumat habis wajahnya, kupingnya, jidatnya dan mulutnya. “Paahh, bandel nih, kita buka dulu bajunya!” Aku masih terengah-engah menahan nafsuku yang membara, kemaluanku semakin menegang menggesek selangkangannya. “OK Mahh… yuuk dibuka dulu.”
Karena sudah sama-sama ngebet, kami saling membukakan pakaian dan setelah T-Shirt-nya kulepas, terlihat sepasang gunung menyembul putih, dan mulus sekali. Kami berpandangan setelah tak selembar benang pun menempel. Kudekap Diana yang mulus, putih, harum itu, kujilati semuanya sambil berdiri, sementara kemaluanku sudah tegang memerah, apalagi ketika Diana mulai meraba dan meremas batang kemaluanku. Kutelentangkan dia di tempat tidur. Oh… betapa mulusnya badan Diana, sempurna sekali seperti bidadari. Pinggulnya yang montok, buah dadanya yang putih kencang dengan puting merona merah dan kemaluannya yang dijalari rambut kemaluan yang tidak terlalu lebat jelas menampakkan bentuknya yang sempurna tanpa cacat, dan kelentit yang merah terlihat rapi dan belum menonjol keluar karena memang Diana masih perawan. Kujilati dari ujung kaki sampai ujung jidatnya yang mulus, naik ke atas, berhenti lama di bawah kemaluannya. Kumainkan lidahku di antara selangkangannya, Diana melenguh, terus kukulum-kulum kemaluannya, klitorisnya yang merah dan beraroma harum, tambah lama tambah merambah ke dalam lubang kemaluannya yang merah.
“Ogghh, Paahh, geliii.., terusss Pahh, ogghh, tapi jangan terlalu dalam Pahh…, saakiiit.”
“Yaa, sayanggg”, sambil terus lidah dan mulutku mengulum kemaluan dan kelentitnya yang mulai terasa agak asin karena cairan kemaluan Diana mulai keluar.
“Ogghh, Paah…, adduuhh, Paahh, gelii, Pahh, Mamah kayaak maauu… ogghh.” Aku terus menjilati seluruh kemaluannya dengan membabi buta, kuhirup seluruh cairannya yang wangi itu, sekali-kali lubang pantatnya kujilati dan Diana menggelinjang dan merintih setiap kali kujilat pantatnya.
Penisku semakin tegang dan keras, urat-uratnya terlihat jelas menegang, aku tahan terus supaya tidak ejakulasi duluan. Aku ingin memuaskan Dianaku yang tentunya baru merasakan kenikmatan surga dunia ini bersama lelaki yang dicintainya. “Paahh, eemmggghh.., teruss… Paahh, geellii…, oooggghh…, Pappaahh jaahhaatt!” aku masih saja terus melumat, memamah, menggigit-gigit kecil lubang kemaluan dan klitorisnya yang merah dan beraroma wangi, dan pantat Diana semakin cepat naik turun sepertinya mau agar lidahku semakin masuk ke lubang kemaluannya. “Paahh, naik Paahh, udaahh donnkk, Mamahh nggak tahaan”, sambil menarik tanganku.
Matanya terpejam ayam, buah dadanya yang putih, mulus dan mengkel terlihat naik turun. Aku menaiki badannya dan penisku yang sudah seperti besi terasa menggesek bulu kemaluannya dan menempel hangat disela-sela kemaluannya yang semakin basah oleh ludahku dan cairan vaginanya. Kuremas dan kuhisap buah dadanya, kukulum puting susunya yang merah muda, terasa sedap dan manis. Diana menggelinjang dan semakin melenguh. “Maahh, masukin yaa, penis Papah”, dia mengangguk sambil tetap terpejam. Kubidikan penisku yang sudah keras itu kelubang kemaluannya, dan kujajaki sedikit-sedikit lubangnya, maklum Diana masih perawan, aku tak ingin menyakitinya.
“PPPaahh, masukkaan cepatt… Mamah nggak tahan Paah aahh…” Kutancapkan penisku lebih dalam, Diana merintih nikmat, pantatku naik turun untuk mencari lubang kemaluannya yang masih belum tertembus penis itu, Diana terus menggoyangkan pantatnya naik turun sambil terus merintih. “Maahh, penis Papahh udahh masuukk, oogghh mahh, vaginanya lezat, menyedot-nyedottt. .. penis…” aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa, karena disamping Diana masih perawan, vaginanya juga punya keistimewaan yang sering disebut “empot-empot ayam” itu. Tambah lama, penisku tambah melesak jauh ke dalam vagina Diana dan ada beberapa tetes darah sebagai tanda keperawanannya diberikan kepadaku, boss-nya, kekasih barunya.
Oh, betapa bahagianya hati ini. “Paahh, saakkiitt, Paahh, tapi enaak, oooggghh.. Paahh, terus, goyang paahh…, oooghh, cepeetiinn paahh…” Aku semakin mempercepat goyangan pantatku naik turun dan penisku sudah bisa masuk semuanya ke lubang kemaluan Diana. Aku bangun dan duduk sambil kupeluk Diana untuk duduk berhadap-hadapan dengan tidak melepaskan penisku. Diana duduk di pangkuanku dengan kaki melonjor ke belakang pantatku. Penisku terus menancap di vaginanya dan Diana mulai menaik-turunkan pantatnya. “Paahh, oggghh… pahh”, sambil melumat bibirku dan menggigitnya. “mmaahh,oogghh, aememmhh… maahh, goyang terusss…, Papah mau keluarrrr.” Diana semakin beraksi menaik turunkan pinggulnya yang bahenol dan putih bersih dan aku pun meladeninya dengan menaik-turunkan pantat dan penisku semakin kencang juga.
“Pppaahh… Papahh harus tanggung jawab yaa, kalau Diana hamil”, ucapnya di sela-sela nafasnya yang semakin ngos-ngosan.
“Diana… emmhhggg, sayang Pappaahh… biarin mengandung anak Papaah”, manjanya. Aku mengangguk saja sebab aku sangat mencintainya.
“Paahh… oogghh… emmgghh… Dianaa mauuu… keluaarrr… oomhh.” “Papahh.. jugaa… sayanggg…. “jawabku sambil telentang agi sedangkan Diana tetap nongkrong berada di atas badanku dan vagina serta pantatnya naik turun semakin cepat melumat habis batang penisku.
“Paahh… Mamahh… oooghh… sssakittt, oooggghh… tapiii.. ennaakk”, ketika kubalikkan badannya dan kutancapkan penisku dari belakang.
Kugenjot terus penisku keluar masuk lubang kemaluannya sambil kuremas-remas pinggulnya yang mulus dan montok seperti gitar itu, Diana semakin merintih, aku juga semakin tersengal-sengal menahan nafasku dan penisku yang semakin liar. Waktu sudah berjalan sekitar 50 menit sejak kami masuk kamar. Kuat juga pikirku, mungkin berkat latihan yogaku yang cukup teratur, sehingga bisa menahan emosi dan cukup nafas. Aku memang rada jago juga dalam bermain asmara di ranjang.
“Terruusss.. . Paahh… eemmhh… ogghh… Paahh… Paahh, ggghh… Mamahh maaooo keluaarr… oogghh… bareng Paahh.” Kucabut dulu penisku dan Diana kuminta untuk telentang kembali dan lantas kutindih lagi sebab aku ingin menatap dan menciumi wajah kekasihku ketika kami sama-sama ejakulasi. Kutancapkan kembali penisku ke vaginanya yang terlihat semakin memerah, kujilati dulu lendir-lendir di kemaluannya sampai lumat dan kutelan dengan nikmat. Dia menggeliat,
Cepat dong masukan lagi penisnya Pah!” dan,
“Bbbleess”, oh nikmat sekali rasanya vagina perawanku tercinta ini. Aku seperti di awang-awang, saling mencintai dan dicintai. Kugoyang terus pantatku semakin lama semakin kencang dan penisku keluar masuk vaginanya dengan gagah, Diana terus melenguh kenikmatan sambil tangannya memilin-milin puting susuku semakin membawa nikmat. Diana semakin menggila goyangannya mengimbangi keluar masuk penisku ke vaginanya, penisku terasa disedot-sedot dan dijepit dengan daging lunak yang ngepres sekali. Keringat kami semakin bercucuran dan semakin membangkitkan gairah cinta, kemudian tiba pada puncak gairah cinta dan surga dunia kami yang paling indah, paling berkesan sekali disaksikan laut kidul, dan kami berdua serempak berteriak dan mengejang, “Paahh… Maahh… oogghh… mauuu keluuuarrr.. . ogghh… baarrrreeengg. .. yuuu…, oooghh… sayaang.” Kami sama-sama mengejang, mengerang, merengkuh apa pun yang bisa direngkuh, sebuah klimaks dua manusia yang saling mencintai dan baru dipertemukan, meskipun sudah agak telat karena aku sudah berkeluarga.
Sejak itu, aku terus memadu kasih kapan dan di mana saja (kebanyakan di luar kota) sampai Diana kawin dan keluar dari perusahaanku. Anak-anaknya adalah anak-anakku juga bahkan wajahnya mirip wajahku dan kadang-kadang kami masih bertemu memadu kasih karena kami tidak bisa melupakan saat-saat indah itu. Kapan akan berakhir perselingkuhan ini, kami tidak tahu sebab cinta kami sangat mendalam.
Diana telah keluar dari kantor cabang bank yang kupimpin di bilangan Slipi, karena dia dipaksa kawin dengan seorang laki-laki yang tidak dicintainya. Namun sebagai anak yang patuh sama orang tua, terpaksa harus mengikuti keinginan orangtuanya dan ikut bersama suaminya setelah itu ke Bandung, karena suaminya bertugas di kantor pajak Jawa Barat. Sebulan sebelum menikah dia kuajak ke Singapore untuk operasi selaput dara, karena aku tidak ingin Dianaku bermasalah dengan suaminya pada malam pengantinnya. Kami menginap di sebuah hotel di kawasan Orchard Road yang ramai dan penuh pertokoan selama tiga malam dan satu malam lainnya aku menungguinya di Rumah Sakit Elizabeth yang terkenal dan langsung ditangani oleh dr. Lie Tek Shih, spesialis operasi plastik, kenalan lama saya. Malam sebelum operasi selaput dara, kami menumpahkan seluruh kasih sayang semalam suntuk di hotel bintang empat itu, dan malam itu merupakan malam yang ke 24 (karena Diana rajin mencatat setiap pertemuan kami) kami memadu kasih dan terlarut dalam kebersamaan yang tiada tara sejak yang pertama di “Samudera Beach” Pelabuhan Ratu.
“Papah”, Diana bersender manja di dadaku di kamar hotel itu.
“Apa sayang?” jawabku sambil mencium rambutnya yang harum.
“Mamah… Mamah nggak mau kawin dan meninggalkan Papah”, rengeknya manja.
“Memangnya kenapa sayang?” jawabku sambil mengusap sayang payudaranya yang putih ranum.
“Mamah nggak cinta sama calon suami pilihan Bapak, lagi pula Mamah nggak mau meninggalkan Papah sendirian di Jakarta.” Matanya terlihat mulai berkaca-kaca, “Mamah sangat sayaang sekali sama Papah, Mamah cintaa sekali sama Papah, Mamah tak rela tubuh dan segala milik Mamah dijamah dan dimiliki orang lain selain Papah, achh… kenapa Tuhan mempertemukan kita baru sekarang? setelah Papah punya isteri dan anak?”
Diana terus bergumam sambil membelai dadaku dan sesekali mempermainkan puting susuku yang semakin keras.
“Mahh, sudahlah, itu sudah diatur dari sananya begitu, kalau dipikir, Papah pun nggak rela kamu dijamah laki-laki lain, Papah tak kuasa membayangkan bagaimana malam pengantinmu nanti, tapi semuanya sudah akan menjadi kenyataan yang tidak mungkin kita robah.” Aku menciumi seluruh mukanya dengan segenap kasing sayang, seakan kami tidak ingin terpisahkan, air mata kami berlinangan campur menjadi satu dalam kesenduan dan kemesraan yang tak pernah berakhir setiap kali kami memadu kasih.
“Papaahh, nikmatilah Dianamu sepuasmu Pahh, sebelum orang lain menjamah tubuhku.” Diana menarik tanganku ke buah dadanya dan merebahkan badannya ke kasur empuk sebuah double-bed. Aku beringsut mendekatinya, sambil kurebahkan badanku di samping tubuhnya yang putih mulus dan seksi itu. Kuusap-usap penuh mesra dan kasih sayang buah dadanya yang putih ranum dengan putingnya yang merona merah. Kujulurkan mulut dan lidahku ke puting buah dada kirinya yang menurutnya cepat membuat rangsangan berahinya timbul.
“Paahh…, gelliii… sayaang… oooggghh, Paahh…, naikin Mamaahh… Paahh…” Matanya merem ayam dan dadanya semakin turun naik.
“Iyyaa, yaanng…” aku segera menindihi badannya, dan penisku mulai kembali tegang. Tiba-tiba Diana membalikkan badannya dan mendadak merenggangkan kedua kakiku. Tak sampai satu menit, Diana sudah mengulum penisku yang semakin mengeras dan mengkilat kepalanya sampai batangnya amblas semua ke dalam mulutnya.
“Oogghh, Paahh, sudah assiiinnn, Papah sudah ngiler nih, tapi nikmat kok, Mamah suka?” Aku semakin merem melek,
“Ogghh, Mmaahh, geellii, sayaang, nikmaatt, ogghh.” Diana mengenyot biji pelirku dan menggigit-gigit sayang, hingga aku menggelinjang geli dan nikmat. Diana memang pintar, hebat, telaten dan cantik. Aku terkadang tak suka dan tak rela dia nanti ditiduri dan dijamah lelaki lain, walaupun itu suaminya. Aku terpikir untuk menggodanya.
“Mah, apa nanti suamimu juga dijilati begini?” Diana berhenti melumat dan menjilat penis dan buah pelirku sejenak. Matanya mendelik dan mencubit pantatku keras sekali.
“Jangan menyakiti hati Mamah ya Pah, Mamah sumpah nggak akan seperti ini, seperti main sama Papah, meskipun nanti lelaki itu resmi jadi suamiku”, Diana iseng mengusap-usap penisku penuh sayang sambil nyerocos lagi.
“Percaya dech pah, Diana cuma cinta sama Papah, paling-paling kalau main nanti sama dia sekedar karena kewajiban, biar saja kayak gedebong pisang.”
“Benar ya Mah, Papah nggak rela kalau kamu main sama dia dirasain, terus ikut goyang dan melenguh, Papah pasti merasakannya” , kataku menimpali.
“Nggak bakal sayang, Mamah hanya manja dan menikmati semua kalau ngewe sama Papah, percaya dech sayang.” Diana kembali naik di atas badanku dan penisku terus diusap-usapnya dan sesekali dikocoknya persis di bagian kepalanya, sehingga langsung tegang dan berdiri perkasa menampakkan otot-ototnya. Diana mengangkat sedikit pantatnya ke atas dan menyelipkan penisku yang semakin perkasa ke lubang kemaluannya yang mulai basah dan licin. Penisku nggak begitu panjang memang, paling sekitar 15 sentimeter, tapi kerasnya seperti besi, dan Diana selalu menikmati klimaks dengan sangat bahagia bahkan bisa berkali-kali klimaks dalam setiap kali berhubungan denganku.
Pantatnya mulai bekerja naik turun dan pantatku juga mengimbanginya dengan menekan-nekan ke atas, sehingga Diana semakin merem melek keasyikan. “Ppaahh, aagggghh… terus teken sayaang… Mamaahh eennnaakk adduuhh Paahh.., oogghh.., Mamaahh, cintaa.. yaangg…” Selalu saja Diana nyerocos mulutnya kalau lagi keasyikan vaginanya melumat penisku. Vaginanya mulai lagi menyedot-nyedot penisku dengan “empot ayamnya” yang tak bisa kulupakan.
“mmaahh…. ooogghh… aduuhh, Maahh, nikmaat, sayaang.. teruuuss Maahh, goyaanng.” Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kuremas-remas buah dada dan putingnya, hingga dia kegelian dan semakin kencang menaik-turunkan pantatnya, sampai bunyi gesekan penis dan vaginanya semakin terdengar. Diana membalikkan badannya dan membelakangiku tapi dengan posisi tetap di atas tubuhku tanpa mengeluarkan penisku dari kemaluannya. Aku paling bernafsu kalau melihat pantat Diana yang putih mulus dan bahenol turun naik di depan mataku sambil vaginanya terus menghisap-hisap batang penisku sampai amblas semuanya ke dasar kemaluannya. Tiba-tiba, “Pppaahh, oggghh, Papaahh, Mamahh maooo keluaarr…. ooghh… Papaahh… aa.. aa… aagghh aaggghh, Mamaahh duluaannn Pahh….” Diana terkulai lemas sambil menyubit keras pantatku dan berbalik kembali menindih tubuhku, sambil memegang penisku yang masih berdiri tegak dan belepotan lendirnya. “Bandel nich… ayo cepeten masukin lagi, Mamah yang di bawah!” perintahnya manja sambil menciumi wajahku. Kedua tubuh kami mandi keringat, rasanya puas sekali setiap bersetubuh dengan Dianaku sayang.
Aku tersenyum puas, aku memang nggak egois, biar Dianaku dulu yang terkulai lemas menikmati klimaksnya, aku bisa menyusul kemudian dan Diana selalu melayaniku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Kubalikkan tubuhnya, kujilati dengan kulumat lendir-lendir di vaginanya, kujilat, kugigit sayang klitoris dan vaginanya, dia menggelinjang kegelian. Kutelan semua lendir Dianaku, sementara itu penisku masih berdiri tegak.
“Cepat masukin penisnya sayang, Mamah mau bobo nich.., lemas, ngantuk”, kicaunya. Setelah kubersihkan vaginanya dengan handuk kecil, kumasukkan lagi penisku, aduh ternyata lubang vaginanya menyempit kering lagi, menambah nikmat terasa di penisku.
“Mmaahh, eennaak… Maahh, oogghh, sempit lagi Maahh…” sambil terus kutekan ke atas dan ke bawah penisku.
Aku sedikit mengangkat badanku tanpa mencabut penisku yang terbenam penuh di vagina Diana, kemudian kaki kanan Diana kuangkat ke atas dan aku duduk setengah badan dengan tumpuan kedua dengkulku. Diana memiringkan sedikit badannya dengan posisi kaki kanannya kuangkat ke atas. Dengan posisi demikian, kusodok terus penisku ke luar dan ke dalam lubang vaginanya yang merah basah. Diana mulai melenguh kembali dan aku semakin bernafsu menusukkan penisku sampai dasar vaginanya. “Ooggghh, Maahh, ooogghh.. nikmat sekali sayang”, lenguhku sambil memejamkan mataku merasakan kenikmatan vagina Diana yang menyut-menyut dan menyedot-nyedot. “Paahh.. Mamah enaak lagi, ooogghh… Paahh”, dia mulai melenguh lagi keenakan.
Aku semakin bersemangat menusukkan penisku yang semakin tegang dan rasanya air maniku sudah naik ke ujung penisku untuk kusemburkan di dalam kemaluan Diana yang hangat membara. Kubalikkan tubuhnya supaya tengkurap dan dengan bertumpu pada kedua dengkulnya aku mau bersenggama dengan doggy style, supaya penisku bisa kutusukkan ke vaginanya dari belakang sambil melihat pinggul dan pantatnya yang putih dan indah. Dalam posisi senggama menungging begitu, aku dan Diana merasakan kenikmatan yang sangat sempurna dan dahsyat. Apalagi aku merasakan lubang vaginanya semakin sempit menjepit batang penisku dan sedotannya semakin menjadi-jadi.
“Paahh… teruuuss genjoott.. Paahh…” Diana mulai mengerang lagi keenakan dan pantatnya semakin mundur maju sehingga lubang vaginanya terlihat jelas melahap semua batang penisku. “Blleesss, shhoottt… bleesss… srooottt, sreett crreeckkk… ” gesekan penisku dan vaginanya semakin asyik terdengar bercampur lenguhan yang semakin nyaring dari dua anak manusia yang saling dilanda cinta.
“Maahh, ooggghh… adduuuhh, Yaangg… emghh, Papah enaakk, ooghh!” aku tergoncang-goncang dan dengkulku semakin lemas menahan kenikmatan dan nafsuku yang semakin menggelegak. Sementara itu keringatku semakin bercucuran membasahi kasur meskipun AC cukup dingin di kamar hotel itu.
“Paahh, ooogghh, teruuusss tusuuk Paahh…” Diana merintih-rintih ke asyikan, kelihatannya akan klimaks lagi. Rupanya Diana nggak mau tahu kalau posisi persetubuhan saat itu akan berakhir 2-1 untuk kemenanganku, dan entah akan menghasilkan skor berapa sampai pagi hari nanti, soalnya mumpung ketemu sebelum dia dikawinkan. Diana memintaku untuk telentang lagi dan sementara dia berada jongkok di depanku, sehingga vaginanya yang merah basah sampai ke bulu-bulunya terlihat jelas di depan mataku. Aku memberi kode agar Diana mendekatkan vaginanya ke mukaku. Sesaat kemudian vaginanya sudah ditindihkan di mulutku dan kulumat habis cairan asin bercampur manis yang ada di selangkangan dan mulut vagina dan bulunya. Kujilati habis dan kutelan dalam-dalam. Diana melenguh keasyikan sambil menggoyangkan pinggulnya ke atas ke bawah dan membenamkan vaginanya ke mukaku.
“Paahh…, ooghh, Paahh…, nikmaatt, yaangg… teruusss, aduuuhh…, ooggghh, eemmhh, gilaa…, emmhh”, mulai ramai lagi dia dengan lenguhannya yang semakin menambah semangatku untuk terus melumat, menjilat, menggigit-gigit kecil kemaluan dan klitorisnya, lidahku terus menggapai-gapai ke dalam kemaluannya dan sesekali menjilat lubang pantatnya, sehingga dia menggeliat dan melenguh keenakan. Lenguhan Diana kalau sedang senggama itu tak bisa kulupakan sampai saat ini.
Dianaku adalah isteriku yang sesungguhnya, meskipun secara resmi tidak dapat dilakukan karena keadaan kami masing-masing. Terkadang kami bingung apakah cinta kasih kami akan terus tanpa akhir sampai takdir memisahkan kami berdua? Diana kembali kuminta celentang, karena sudah kebiasaanku kalau aku klimaks harus melihat wajahnya dan mendengar lenguhannya di depan mataku, dan rasanya semua perasaan cintaku dan spermaku tumpah ruah di dalam vaginanya kalau aku ejakulasi sambil berada di atas tubuhnya yang mulus montok, terkadang sambil meremah buah dadanya yang putih padat.
Kumasukkan lagi segera penisku yang sekeras besi dan berwarna coklat mengkilap itu kelubang vaginanya, “Blleeeessss. ” Aku sudah tak tahan lagi menahan gumpalan spermaku di ujung penisku. Kugenjot penisku keluar masuk vaginanya sampai ke ujung batang penisku, sehingga rambut kemaluan kami terasa bergesekan membuat semakin geli dan nikmat rasanya. Kuangkat kaki kanan Diana ke atas, sehingga aku semakin mudah dan bernafsu memaju mundurkan pinggulku dan penisku, Diana meringis dan melenguh keenakan. “Paahh… teruuss Paahh… oogghh, penis Papah eaakk… ooggghh, eeemmhh… emmhh… aduuuhh.” Keringat kami semakin bercucuran membasahi sprei, masa bodoh sudah bayar mahal ini. Aku semakin bernafsu menyodok dan menarik batang penisku dari vagina Diana yang semakin licin tapi tetap sempit seperti perawan.
“Oooggghh… Maahh… ooggghh… Maahh… ikut goyang dong Sayaang…, oooghh… Papaahh maauu keluuuaarr.. .” aku semakin gila saja dibuatnya, keringat semakin bercucuran, nikmat dan nikmat sekali setiap bersetubuh dengan Dianaku sayang. Air maniku rasanya tinggal menunggu komando saja untuk disemprotkan habis-habisan kelubang vagina Diana. “Paahh, aduuuhh, bareng yuuu.. Paahh… Mamah mmoo keluaarr lagi”, Diana minta aku menindihnya dan menciumnya. Segera kutimpa dia dari atas sambil melumat mulut, bibir dan lidahnya. “Ooogghh… yuu… baraeeng.. Paahh… aiiaaogghh.. . aduhh.. yuu Maahh.. Paahh…” badan kami saling meregang, berpelukan erat seakan tak mau lepas lagi. Air maniku kusemprotkan dalam-dalam ke lubang vagina Diana, rasanya nggak ada lagi tersisa. Kami terkulai lemas dalam pelukan hangat dan puas sekali. Sesekali penisku kutusukan ke dalam vaginanya, Diana menggelinjang geli dan melenguh “Paahh… udaahh… Mamahh geli…” matanya terpejam puas. Kuciumi dia, kubersihkan lagi vaginanya dengan jilatan lidah dan mulutku, ketimbang pakai handuk. Vaginanya tetap harum, manis dan wangi laksana melati.
Sepulang dari Singapore, aku dan Diana masih selalu bertemu di beberapa motel di Jakarta dan sekitar Botabek. Aku seakan tidak rela melepas kekasihku untuk dikawinkan dengan lelaki lain. Tapi memang tidak ada jalan lain, sebab meskipun Diana telah menyatakan keikhlasannya untuk menjadi isteri keduaku, namun aku juga sangat cinta keluarga terutama anak-anakku yang masih butuh perhatian. Diana sangat maklum hal itu, namun dia juga tidak bisa menolak keinginan orangtuanya untuk segera menikah mengingat hal itu bagi seorang wanita adalah sesuatu yang harus mempunyai kepastian karena usianya yang semakin meningkat. Waktu itu Diana sudah berusia hampir 27 tahun dan untuk wanita seusia itu pantas untuk segera berumah tangga.
Tanpa terasa hari pernikahan Diana sudah tinggal tersisa satu bulan lagi, bahkan undangan pesta pernikahan sudah mulai dicetak, dan dia memberitahukan aku bahwa resepsi pernikahannya akan diselenggarakan di Balai Kartini. Hatiku semakin merasa kesepian, dari hari ke hari aku semakin sentimentil dan sering marah-marah termasuk kepada Diana. Aku begitu tak rela dan rasanya merasa cemburu dan dikalahkan oleh seorang laki-laki lain calon suami Diana yang sebenarnya tidak dia cintai. Tapi itulah sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan. Itulah adat ketimuran kita, adat leluhur dan moyang kita. Barangkali kalau aku dan Diana hidup di sebuah negara berkebudayaan barat, hal ini tidak bakalan terjadi, sebab Diana bisa menentukan pilihannya sendiri untuk hidup bahagia bersamaku di sebuah flat tanpa bisik-bisik tetangga dan handai-taulan di sekitar kita.
Tanpa terasa pula aku sudah menjalin cinta dan berhubungan intim dengan Diana hampir empat tahun lamanya, seperti layaknya suami isteri tanpa seorang pun yang mengetahui dan hebatnya Diana tidak sampai mengandung karena kami menggunakan cara kalender yang ketat sehingga kami bersenggama jika Diana dalam keadaan tidak subur.
Pada suatu sore, Diana meneleponku minta diantarkan untuk mengukur gaun pengantinnya di sebuah rumah mode langganannya di kawasan Slipi. Kebetulan aku sedang agak rindu pada dia. Kujemput dia di sebuah toko di Blok M selanjutnya kami meluncur ke arah Semanggi untuk menuju ke Slipi. Di mobil dia agak diam, tidak seperti biasanya.
“Ning, kok tumben nggak bersuara”, kataku memecah hening.
Dia menatap mukaku perlahan, tetap tanpa senyum. Air matanya terlihat samar di pelupuk matanya.
“Mah, kenapa sayang? kok kelihatannya bersedih”, kataku sekali lagi.
Dia tetap menunduk dan air matanya mulai meluncur menetes di tanganku yang sedang mengelus mukanya.
“Bertambah dekat hari pernikahanku, aku bertambah sedih Pah”, ujarnya.
“Mamah membayangkan malam pengantin yang sama sekali tidak Mamah harapkan terjadi dengan lelaki lain. Sayang sekali kamu sudah milik orang lain. Kenapa kita baru dipertemukan sekarang?” Diana berceloteh setengah bergumam. Aku merasa iba, sekaligus juga mengasihani diriku yang tidak mampu berbuat banyak untuk membahagiakannya.
Kugenggam tangannya erat-erat seolah tak ingin terlepaskan. Tanpa terasa, mobilku sudah memasuki pekarangan rumah mode yang ditunjukan Diana. Hampir setengah jam aku menunggu di mobil sambil tiduran, mesin dan pendingin mobilku sengaja tak kumatikan. Laser disk dengan lagu “Love will lead you back” mengalun sayup menambah suasana sendu yang menyelimuti perasaanku.
Aku dikejutkan Diana yang masuk mobil dan membanting pintunya. Setelah berada di jalan raya kutanya dia mau ke mana lagi dan dia menjawab terserahku. Kuarahkan mobilku kembali ke jembatan Semanggi dan belok kiri ke jalan Jenderal Sudirman dan masuk ke Hotel Sahid. Sementara aku mengurus check-in di Reception Desk, Diana menungguku di lobby hotel. Kemudian kami naik lift menuju kamar hotel di lantai dua.
“Pah, Mamah serahkan segalanya untukmu, Mamah khawatir sebentar lagi Mamah dipingit, nggak boleh keluar sendirian lagi, maklum tradisi kuno kejawen masih ketat.” Tanpa malu-malu lagi karena kami memang sudah seperti suami isteri, dia membuka satu persatu pakaian yang melekat di badannya sehingga kemontokan tubuhnya yang tak bisa kulupakan terlihat jelas di hadapanku. Tanpa malu-malu pula dia mulai memelorotkan celana panjang sampai celana dalamku, sehingga batang penisku yang masih tiduran terbangun. Tanpa menungguku membuka baju dan kaus singlet, Diana sudah membenamkan batang penisku ke mulutnya dan melumatnya dalam-dalam. Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa dan batang penisku mulai mengembang besar dan keras seperti besi.
“Ogghh… Maahh…, isep terus yaang oooghh, aduuuuhh… gelli”, aku mulai melenguh nikmat dan Diana semakin cepat mengulum penisku dengan memaju-mundurkan mulutnya, penisku semakin terasa menegang dan aliran darah terasa panas di batang penisku dan Diana semakin semangat melumat habis batang penisku. “Oggghh, Paahh, enaakkk asiiin.. Paahh.” Wah, batang penisku makin terasa senut-senut dan tegang sekali rasanya cairan spermaku sudah berkumpul di ujung kepala penisku yang semakin merah mengkilat dikulum habis Diana. Aku minta Diana menghentikan hisapannya dulu, kalau tidak rasanya spermaku sudah mau muncrat di mulutnya.
“Ooogghh, Maahh, sudah dulu doong, Papaahh moo… keluaar!” Diana menuruti eranganku dan beranjak rebah dan telentang di tempat tidur. Aku mengambil nafas dalam-dalam untuk menahan muncratnya spermaku. Aku ikut naik ke tempat tidur dan kutenggelamkan mukaku ke tengah selangkangannya yang mulus putih tiada cela tepat di depan kemaluannya yang merekah merah. Kujulurkan lidahku untuk kemudian dengan meliuk-liuk memainkan kelentitnya, turun ke bawah menjilat sekilas lubang pantatnya. Diana melenguh kegelian dan mulai menaik-turunkan pantatnya yang putih dan gempal.
Kutarik ke atas lidahku dan kujilat langit-langit vaginanya yang mulai basah dan terasa manis dan asin. Kutegangkan lidahku agar terasa seperti penis, terus kutekan lebih dalam menyapu langit-langit vagina Diana. Diana semakin memundur-majukan pinggulnya sehingga lidahku menembus lubang vaginanya semakin dalam. Aku sebenarnya ingat bahwa hasil operasi selaput daranya tempo hari di Singapore bisa jebol lagi, tapi aku tak peduli kalau kenikmatan bersenggama dengan Diana telah memuncak ke ubun-ubunku. “Paahh… ooghh… wooowww… ooghh.. paahh, terus paahh… enaakkk… paahh lidahnya kayaak kontoooll… ” Goyangan pinggul Diana semakin menggila, aku pun tambah semangat membabi buta memainkan lidah dan mulutku melumat habis vagina dan klitorisnya sampai cairan Diana semakin banyak mengalir. Kuhisap dan kutelan habis cairan vagina Diana yang asin manis itu sehingga lubang vaginanya selalu bersih kemerahan. Diana terus menyodok-nyodokkan vaginanya ke mukaku sehingga lidahku terbenam semakin dalam di lubang vaginanya, sampai mulai terasa pegal rasanya lidahku terus kutegangkan seperti penis. “Paahh… sudah naik sayaang, Mamah sudah nggak tahan, masukkan penisnya sayang.” Diana menarik tanganku ke atas supaya aku segera menaikkan badanku di atas badannya.
Penisku memang sudah terasa panas dan tegang sekali. Diana tak sabar memegang penisku dan menuntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah karena lendir kemaluan bercampur ludahku. Maka “bleeess”, “Ogghh… Paahh… tekan terus sayaang, Mamah udaahh rinduu… oogghh emmgghh… Paah… terus goyaag sayaang…. ooghh..” Pantat Diana mulai bergerak naik turun dengan liar dan penisku sebentar masuk sebentar keluar dari lubang vaginanya yang menyedot-nyedot lagi. Kunaikkan kaki kanannya dan dengan posisi setengah miring dan posisiku setengan duduk aku sodok vagina Diana dari belakang. Aku semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul Diana yang putih. Penisku semakin ganas dan tegang menyodok mantap vaginanya dari belakang.
Diana membalikkan tubuhnya sehingga menungging membelakangiku dan penisku tak kucabut dari vaginanya. “Paahh.. teruuss dooong, Mamaah nikmaa… ogghh… teruuusss… sodoook sayaang… ogghh… Paahh…. aaoggghh… uuuggghh…” Pantatnya semakin menggila mundur maju dan aku pun semakin menggila menyodokkan penisku sampai rasanya mau patah. Memang setiap senggama sama Diana rasanya habis-habisan. Kutumpahkan semua kemampuan dan keperkasaanku untuk membahagiakan Dianaku. Dia pun demikian, tidak ada yang tersisakan kalau kami bersenggama. Harus habis-habisan supaya puas. Keringat kami membanjiri sprei hotel seperti habis mandi.
“Mmaahh… oooghh, teruuusss goyaang… oooggghh.. Maahh… Papaahh mooo keluaarr… gila Maahh… vaginanyaa.. . oooghh… nikmaat… sekalii…” Aku mulai ribut dan Diana melenguh semakin panjang. Mungkin tamu kamar sebelah mendengar lengkingan dan lenguhan kami.
Masa bodoh! “Pahh… emmghh… oogghh… Paapaahh… adduuuhh.. Paahh… adduuhh… Mamaahh… mmooo kelluuaarr.. . emmggg… addduhh… Paahh aduuhh… Paahh… adduuhh”, Kugenjot terus penisku keluar masuk, vagina Diana yang semakin banjir dengan cairan vaginanya, terus kugenjot penisku sampai pegel aku tak peduli. Keringat kami terus membanjiri sprei.
Kuminta Diana telentang kembali karena dengkulku mulai lemas. Dia tersenyum sambil tetap memejamkan matanya. Oh, cantiknya bidadariku, rasanya ingin kukeluarkan seluruh isi penisku untuknya. Diana baru sadar bahwa hasil operasi selaput daranya mungkin jebol lagi. Diana bilang masa bodoh, yang penting semuanya telah diberikan buat Papah. Biar saja suaminya curiga atau marah atau bahkan kalau mau cerai sekalipun kalau tahu dia nggak perawan lagi. Kali ini kami nggak menunggu waktu ketika Diana sedang tidak subur, karena Diana ingin mengandung anakku dan orang tidak akan curiga karena Diana akan punya suami. Memang kasihan nasib suami Diana nanti, tapi bukan salah kami karena dia merebut cinta kami, ya kan ?
“Cepat pah masukan lagi ach… jangan mikirin orang lain!” Tuh kan betapa dia nggak ambil peduli tentang hari pernikahannya dan calon suaminya, sebab bagi dia akulah suami sesungguhnya dalam hati sanubarinya. Bleess…, “Ooogghh… Paahh, enaak… Paahh… aaoogghh.. uuhhgg.. uuughh… genjot terus Paah”, Aku tekan penisku sekuat-kuatnya sampai tembus semuanya ke lubang paling dalam vaginanya sampai terasa mentok. “Ooogghh… mmaahh… nikmaattt… istrikuu… sayaangg… oooggghh… aagghh… eemmgghh…” aku setengah berdiri lagi dengan tumpuan ke dua dengkulku dan kurenggangkan kedua kaki Diana, kusodokkan terus penisku keluar masuk vaginanya, bleeesss… sreeett… blleeess… sreeet…, vaginanya menimbulkan suara yang semakin memancing gairah kami berdua. Diana memejamkan dan mengigit-gigit bibirnya dan mencakar-cakar punggung dan tanganku ketika mulai meregang.
“Ooooggghh.. . Paappaahh… emmggg… ooggghh… aduuuhh… Mamaah moo keeluuuuarr. . oooghh.. Paahh… teruuuss… saayyaang, keluuaarriiinn barreenng oogghh”,
“Hayyyoo… Maahh… oogghh… hayoo… baarr… ooghh… reenng… Maahh… ooooghh”, teriakanku tak kalah serunya. Kami menggelepar, meregang, mengejang bersama-sama, serasa nafasku mau copot dan Diana melenguh panjang sambil merasakan cairan air maniku tertumpah ruah di lubang kemaluannya, terasa nikmat dan hangat katanya. Biasanya sehabis merasakan klimaks yang sangat dahsyat Diana selalu memukul dan mencubit sayang badanku, terus kelelahan mau tidur sehingga terbaring lunglai dengan keringat bercucuran. Aku selalu memeluk dan menciumi keningnya, hidungnya, mulutnya, rambutnya sampai ke pantatnya, biasanya dia menggelinjang dan marah-marah karena geli. Jika Diana sudah terpuaskan dan tertidur, aku rasanya lelaki yang sangat berbahagia di dunia ini. Sekian dulu (Akan kusambung setelah Diana kawin seminggu, tambah seru deh!).
Telah seminggu Diana menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya. Resepsi pernikahannya di Balai Kartini cukup meriah, dan aku datang dengan isteriku untuk menyampaikan selamat. Ketika aku menyalaminya, dia tertegun dan terasa agak kikuk dan serba salah, aku pun merasakan hal yang sama. “Terima kasih ya Pak”, katanya hampir tak terdengar. Di hatiku berkecamuk seribu macam pikiran, tapi kuusahakan untuk tetap wajar. Dianaku begitu cantik dan anggun dengan pakaian pengantinnya. Aku membayangkan bahwa sebentar lagi Diana kekasihku, isteriku, yang beberapa tahun telah memadu cinta denganku akan menjadi isteri orang.
Meskipun kutahu bahwa dia tetap mencintaiku, tapi secara resmi dia akan menjadi isteri orang lain, tentu tidak akan sebebas dulu ketika dia masih single. Sebentar lagi Diana akan tidur berdua-duaan dengan lelaki lain, mungkin untuk selamanya, karena aku pun tak ingin dia menjadi janda dan kalau Diana menjadi janda tentu akan menjadi gunjingan orang. Tidak, aku tak rela Dianaku menjadi gunjingan orang. Sekilas aku berpikir untuk mengakhiri saja hubunganku dengan Diana, karena dia telah menjadi isteri orang, tapi apakah bisa semudah itu aku melupakannya? Dunia rasanya sepi dan kejam, dan aku melangkah gontai meninggalkan pesta perkawinannya yang masih penuh tawa dan canda teman-teman dan keluarganya.
Beberapa hari setelah pernikahannya aku membenamkan diri dengan pekerjaanku, siang dan malam kusibukkan diriku dengan pekerjaan dan mengurus anak-anaku. Aku tak mau membayangkan, dan memang tak sanggup membayangkan sedang apa Diana beberapa hari setelah pernikahannya. Aku cemburu, marah, masgul, gundah jika membayangkan dirinya sedang bersenang-senang dengan suaminya yang tentunya sudah tak sabar ingin menikmati kemontokan dan kemulusan tubuh Diana, yang sudah resmi jadi isterinya. Aku membayangkan Diana telanjang bulat bersama suaminya, manja, bersenggama bebas tanpa takut oleh siapapun dan melenguh mesra seperti ketika bersenggama denganku.
Tiba-tiba aku sangat benci padanya, aku menganggap Diana nggak setia padaku, Diana telah mengkhianati cintaku, buktinya dia mau saja digilir oleh lelaki lain. Apakah itu yang namanya cinta dan kesetiaan? Aku bertekad untuk menjauhinya mulai sekarang, dan aku tak akan menerima teleponnya. Diana memang berjanji akan meneleponku paling lambat satu minggu setelah dia menikah dan sebelum ikut suaminya pindah ke Bandung.
Tidak! aku tak akan menerimanya jika dia meneleponku, biar dia tahu rasa, aku tak mau bekas orang lain. Benar saja, pada hari kelima setelah kawin dia meneleponku.
“Pak, ada telepon”, kata sekretarisku yang baru, pengganti Diana.
Anehnya, meskipun dia berparas lumayan, aku tak tertarik sama sekali dengan sekretaris baruku itu. Aku memang bukan type “hidung belang” yang sekedar mau iseng bercumbu dengan perempuan. Aku hanya jatuh hati dua kali seumur hidupku, kepada isteriku dan kepada Diana.
“Pak, kok melamun, ada telepon dari Ibu Diana, katanya bekas sekretaris bapak”, sekretaris baruku kembali mengagetkan lamunanku.
“Ooh.. ya… ya.. sebentar Reni…, emh.. dari siapa? Diana? bilang saja Bapak sedang ke luar kantor ya!” aku mengajari dia bohong.
“Lho, Pak, kenapa? kan kasihan Pak, katanya penting sekali, dan besok Ibu Diana mau pindah ke Bandung”
Reni, sekretaris baruku itu mulai mendesakku untuk menerima saja telepon Diana itu. Aku sejenak merasa bingung, aku rasanya masih benci tapi juga sangat rindu sama Diana, apalagi kata Reni besok akan jadi pindah mengikuti suaminya yang bekerja di Bandung.
Setelah berfikir sejenak… “OK, Reni, sambungkan ke sini!” dan aku agak gugup untuk kembali berbicara dengan Diana, untuk kembali mendengar suaranya, Diana yang sekarang sudah menjadi isteri orang lain.
“Hallooo…, siapa nich?”, kataku agak malas.
“Papah, ini Diana Pah, Papah kok gitu sih?” jawab Diana di ujung sana.
“Oh, Nyonya Prayogo, saya kira Diana Prameswara kawanku”, kataku menggoda.
“Nggak lucu ah…, Mamah sekarang tanya serius, apa Papah mau nemui Mamah nggak sebelum besok Mamah pindah ke Bandung?”, jawabnya lagi setengah mengancam. Aku bingung juga ditanya begitu, sebab jauh di dalam hatiku sebenarnya aku rindu berat sama Diana, tapi kebencian dan kekesalan masih menempel erat di benakku.
Beberapa jenak, aku nggak bisa menjawab sampai Diana nyerocos lagi.
“Mamah ngerti, Papah masih kesal dan benci sama Mamah, tapi kamu kan sudah setuju kalau Mamah terpaksa harus kawin, demi kebaikan hubungan kita dan demi menjaga nama baikmu juga. Papah, dengar! Mamah sudah seminggu nggak menstruasi lagi sampai sekarang. Ingat hubungan kita di Hotel Sahid terakhir kali? Sudahlah, nanti Mamah ceDianakan lebih lengkap, sekarang mau nggak jemput Mamah di toko biasa di Blok M? Soalnya mumpung si Yudi pulang agak larut malam” Nama suaminya memang Yudi Prayogo dan hanya selisih dua tahun dengan Diana, katanya sih ketemu di kursus Inggris LIA.
Hatiku mulai melunak mendengar pengakuannya dan serta merta aku menyetujui untuk menjemputnya di Blok M. Aku memarkir mobilku di tempat parkir yang agak memojok dan sepi, maklum kami harus semakin berhati-hati, karena Diana sudah menjadi isteri orang. Diana segera hafal melihat mobilku dan setelah Diana duduk di sampingku, segera kukebut lagi keluar Blok M menuju ke utara melewati Sisingamangaraja, Sudirman, naik jembatan Semanggi terus memutar ke jalan Jenderal Subroto dan dengan cepat masuk ke halaman parkir Hotel Kartika Chandra. Diana terlihat lebih cantik, sedikit gemuk dan tambah bersih dan putih mukanya. Rambut dan bulu-bulu halus di sekitar jidatnya terlihat hilang, mungkin karena dikerok oleh perias pengantinnya.
Dia mengenakan celana panjang merah dan T-Shirt putih kembang-kembang ditutupi blazer warna hitam. Terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Banyak yang nyangka dia keturunan Tionghoa, padahal Jatul. Tahu jatul? Jatul itu “Jowo Tenan” atau “Jawa Tulen”. Ibunya dari Purwokerto dan bapaknya dari Surakarta , katanya sih masih kerabat Kesultanan Surakarta, masih trah langsung Raja Paku Bowono. Setelah check-in sebentar, aku sudah berdua-dua dengan Diana di kamar hotel, dan untuk pertama kalinya aku berduaan dengan isteri orang. Ada perasaan berdosa menyelinap di hatiku. Tapi semuanya menjadi hilang karena betapa besarnya cintaku pada Diana. Juga sebaliknya, jika Diana tak mencintaiku, mana mungkin dia beReni bertemu dengan lelaki lain padahal dia baru kawin lima hari lalu?
“Papah, Diana sedang mengandung janin anakmu, biasanya tanggal lima minggu lalu Mamah menstruasi ternyata nggak keluar sampai sekarang”, Diana menambahkan keterangannya tadi di telepon, dan aku semakin cinta dan sayang rasanya. Tapi tetap saja ingin menggodanya dan mengetes cintanya padaku.
“Oh, ya, hampir lupa, gimana dong bulan madunya kemarin, ceritain dong Ning! pasti seru dan rame dengan lenguhan. Dan apa suamimu nggak ribut tanya perawanmu kaya Farid Hardja?” Diana mendelikkan matanya dan mencubit pahaku keras sekali.
“Percaya atau tidak terserah Papah, yang pasti nggak ada lenguhan, nggak ada goyangan, persis kaya gedebong pisang. Si Yudi memang sempat marah-marah karena mungkin Mamah ternyata begitu dingin dan nggak gairah. Tapi memang nggak bisa dipaksakan. Mamah hanya bergairah kalau bersenggama dengan Papah. Dia nggak nanya tuh, kenapa nggak ada darah perawan Mamah di sprei, ah.. sudah.. sudah! nggak usah tanya gitu-gituan lagi. Nanti malah berantem terus. Pokoknya Mamah sayaang benar sama Papah, nggak ada duanya deh”.
Seperti bisa dia mulai mencopoti pakaianku satu persatu, sampai CD-ku dia pelorotin juga. Begitu di buka CD-ku, penisku langsung bergerak liar dan setengah tegang begitu tersentuh tangan halus Diana. Tak buang waktu lama, Diana melemparkan semua pakaiannya ke lantai karpet sampai terlihat bodinya yang seksi, putih mulus dengan puting susu yang semakin ranum. Mungkin pengaruh dari kehamilannya meskipun baru beberapa hari mengandung anakku. Penisku yang masih setengah tertidur langsung dikulumnya ke dalam mulutnya dan dihisapnya dalam-dalam, padahal aku masih berdiri seperti patung dengan bersandar ke tembok. Dengan ganas dia menghisap, menggigit dan menyedot penisku dalam-dalam sampai penisku mentok ke langit-langit mulutnya. Tak lama penisku langsung tegang dan memerah dan mengkilap bercampur ludahnya.
“Ooooggghh.. . Maahh…. terus Maahh… jilaat…. ooogghh…”
Aku mulai terangsang dan kenikmatan setiap penisku dihisapnya. Diana memang suka sekali menjilat dan menghisap penisku, tapi ketika kutanya apakah dia juga menghisap penis suaminya, dia bilang amit-amit, nggak nafsu katanya. Mulut Diana pindah menghisap dan menjilat penisku, dia juga senang menggigit-gigit dua bakso penisku, sampai aku kesakitan campur geli dan nikmat bukan kepalang. “Ooooghh… Maahh… jangan digigit, Papah sakiiittt”. Aku minta Diana berhenti dulu mengulum batang penisku, aku juga sudah rindu untuk menjilat vagina dan klitorisnya. Kuminta Diana tiduran di pinggir tempat tidur empuk itu dengan kaki terjuntai ke bawah, dengan begitu aku bisa duduk di tengah-tengah selangkangannya.
Vagina dan klitorisnya terlihat jelas kalau begitu. Oh, begitu indah dengan warna merah jambu klitoris dan lubang vaginanya terlihat jelas di hadapan mukaku. Kujilat dengkul dan pahanya, terus merayap kujilati selangkangannya yang mulus, sesekali kujilatkan lidahku ke lubang pantat, klitoris dan lubang vaginanya, Diana melenguh-lenguh tertahan. “Oooghh, Papaahh… eeemghh, aduuuhh…, teruuuss… Paahh… oooghh… enaakkk.” Kalau Diana sudah mulai melenguh begitu aku semakin bernafsu untuk terus menjilat, mengigit dan menyedot-nyedot klitoris dan lubang vaginanya sambil menyedot air maninya yang mulai meleleh keluar dan lubang vaginanya.

Oh, nikmat… manis dan sedikit asin, kaya kuah asinan Bogor . Kukeraskan lidahku supaya semakin tegang dan kutusukkan ke dalam lubang vaginanya, Diana semakin melenguh keenakan, karena mungkin lidahku terasa seperti penis menyodok-nyodok semakin ke dalam lubang vaginanya. Cairan vaginanya semakin banyak keluar dan kuhisap dan kutelan dengan nikmat. Kadang-kadang rambut kemaluan Diana ada yang putus dan ikut termakan. “Paahh…. ooooghh…. Paahh…, enaakkk, teruuuusss.. .. Paahh… ooooggghh… aduuuhh”, Diana semakin ramai, barangkali suaranya terdengar tamu di sebelah atau room-boy yang sedang lewat. Kujilatkan lidahku ke lubang pantatnya berkali-kali Diana bergelinjang kegelian. “Papaahh… geliiii…” penisku menggesek pahanya yang mulus sehingga semakin tegang. “Paahh… penisnya geli tuch di paha Mamah, udahan dulu ngisepnya sayang…., kesini deh, cium Mamah dan masukin penisnya.”
Kuhentikan jilatan lidahku, memang sudah mulai pegal juga menegangkan lidahku hampir seperempat jam. Kugeserkan badanku ke atas, sejajar dengan tubuh Diana dan sambil kulumat mulutnya dalam-dalam kugesekan penisku ke vaginanya yang basah, oh… betapa nikmatnya. Kukulum dan kugigit lidahnya. Diana menjeNing tertahan, kemudian kujulurkan juga lidahku dan dia balas menggigit lidahku dengan bernafsu. Aku gantian teriak, sampai keluar sedikit air mata. Untung kenang-kenangan kalau Diana di Bandung katanya. Kujilati kupingnya, jidatnya, hidungnya, matanya sampai Diana menggelinjang- gelinjang ketika kujilati dan kugigit kupingnya. “Tuuuuhh.. Paah lihat, sampai merinding, “katanya manja. “Paahh, masukin penisnya Paahh, Mamah sudah rinduuu.”
Diana melenguh manja. Diana merenggangkan selangkangannya untuk membuka lubang vaginanya lebih lebar lagi. Penisku yang tambah keras nyasar-nyasar di lubang vaginanya setelah menembus bulu-bulu vaginanya yang mulai basah dan “Bleesssss.. .” Diana berteriak keenakan sambil menggigit bibirku. “Paahh…, ooogghh…, pelaan pelaannn… doongg.” Matanya terpejam, nafasnya yang harum dan bau mulutnya yang wangi masuk semua terhirup oleh hidungku. Kutarik dan kutekan penisku semakin kuat dan sering, keringatku semakin bercucuran, mungkin berkat bir hitam cap kucing yang kuminum sebelum bermain dengan Diana tadi. Diana juga semakin mengencangkan goyangan pinggul dan pantatnya turun naik sampai aku merasakan kepala penisku mentok di ujung lubang vaginanya. “Paappaahh.. .. ooogghh… teruuusss, cumbu Mamaah Paahh…, Mamaahh cintaa, Mamaahh.. sayyy… oooghh.. aduuhh… aanggg.”
Diana semakin ramai mengerang dan melenguh tak peduli suaranya akan didengar orang. Kuminta Diana menungging setelah kucabut penisku. Diana menurut dan wow! aku selalu semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul Diana yang mulus dan seksi. Sambil setelah jongkok, aku menyodokan penisku dari belakang setelah membuka lubang vaginanya sedikit dengan tanganku dan, “Bleeeeezzzz” , Diana berteriak keenakan. “aaggghh, oooghh… Paahh… terus genjot Paahh… wooowww… enaakkk Paahh…” aku semakin mengencangkan sodokan penisku. Diana melenguh, merintih dan teriak-teriak kecil sementara itu keringat kami semakin bercucuran membasahi seprei. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa setiap mempraktekkan berhubungan badan dengan gaya “doggy style” sehingga spermaku mulai meleleh keluar, semakin meramaikan bunyi gesekan penisku dengan vagina Diana. Diana semakin menunggingkan pantatnya sehingga penisku semakin amblas di dalam vaginanya. Rasanya air maniku sudah mengumpul di kepala penisku menunggu dimuntahkan habis.
“Maahh… oooghh…. aduuuhh… Maahh, vaginanya enaakk…, punya Papah yaa sayaang….” Diana menjawab sambil merintih “Iyaa… sayaangg, semuanya punya Papaahh.” Kusodokkan penisku semakin dalam. “Maahh…. adddduuhh… . Papaahh… moooo keluaarr! cabut dulu ya Maahh…” Diana setuju dan segera telentang kembali. Aku segera menggumulinya dari atas badannya, kulumat pentil buah dadanya. Diana kenikmatan dan minta penisku segera dimasukan kembali ke vaginanya. Dia minta aku merasakan kenikmatan bersenggama dengannya, sampai nanti bertemu lagi di Bandung dengan segala cara. Kumasukan kembali penisku ke vaginanya yang semakin basah dengan cairan sperma kami yang sudah bercampur satu.
“Bleeessszzz, crroockkk… chhooozkk… breesszz… crrrockkk… . bunyinya semakin gaduh. Diana semakin membabi buta menggoyang dan menaik-turunkan pinggulnya dan aku juga demikian. Kutekan dan kucabut penisku yang panas dan keras ke lubang vaginanya. Ingin rasanya kutumpahkan semua sperma dan spermaku ke lubang vagina dan rahim Diana supaya anakku semakin sehat dengan tambahan vitamin dan mineral dari sperma bapaknya. Supaya kegantengan dan kepintarannya juga turun ke anakku yang ada di dalam rahim Diana. Tiba-tiba kami merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa, kami meregang dan melenguh bersama-sama merasakan sorga dunia yang tiada taranya, meregang, meremas dan memeluk erat-erat dua badan anak manusia yang saling mencinta dan seakan tak mampu terpisahkan. Diana mengejang badannya dan menggigit bibir dan lidahku, pinggulnya terangkat sambil berteriak. “Papaahh…. oooghh… Mamaah… ooghh, keluaar… sayaangg”, sambil mencubit dan mencakar punggungku.
Mendengar lenguhan dan teriakan ejakulasi Diana, aku pun mulai tak tahan menahan desakan air maniku di kepala penisku dan sambil menekan dalam-dalam penisku di vaginanya aku berteriak sambil mengejang, kugigit lidahnya, “Maahh… oooggghh… Papaahh… jugaa….. keeelluuuaarrr. … oooghh…. sayaanggg… . nikmaattt.” Kami tertidur sejenak sambil berpelukan dengan mesra dan tersenyum puas, waktu sudah menunjukkan jam delapan lewat lima menit, berarti kami bermain selama hampir dua jam lamanya. Oh, betapa nikmat dan puasnya. Aku memeluk dan menciumi Diana erat-erat seolah tak ingin berpisah dengan kekasihku dan isteriku tercinta, karena besok dia sudah akan pindah ke Bandung. Diana berjanji untuk Meninggalkan nomor telepon rumahnya di Bandung dan aku diminta untuk datang paling tidak seminggu sekali.
Sudah satu bulan berlalu, sejak pertemuanku terakhir dengan Diana di Jakarta. Aku terkadang sangat rindu dengannya, tapi kutahan perasaanku dengan menyibukkan diriku pada pekerjaan yang semakin menumpuk sejak aku mempimpin cabang Slipi. Maklum, para pengusaha nasabah bank dimana aku bekerja semakin banyak saja, hal ini karena keberhasilan marketing-ku. Aku sengaja bekerja all-out siang malam, dengan menjamu langgananku sambil makan malam dan karaoke.
Aku ingin melupakan Dianaku yang sekarang sudah jadi isteri orang, tapi bayang-bayang kemesraan selama beberapa tahun dengannya seperti suami isteri tak mudah rupanya untuk dilupakan begitu saja. Sekretarisku yang baru memang cantik, lebih muda dan menarik, tapi anehnya aku sama sekali tak tertarik dengannya, barangkali memang aku bukan tipe lelaki “play-boy” yang gampang gonta-ganti pasangan. Cintaku sudah direbut oleh Diana tanpa peduli bahwa dia sudah menjadi isteri orang. Tapi aku tak menyesali pertemuan dengan Diana, aku tetap mencintainya dengan sepenuh hati.
Oh, rupanya aku melamun terlalu lama, sehingga aku merasa malu ketika sekretarisku Reni masuk membawa setumpuk dokumen.
“Pak, kok melamun?” sapanya ramah, sambil tersenyum manja.
“Ah, oohh… eng.. nggak.. kok”, kataku tergagap.
“Pak, dokumen-dokumen ini perlu segera ditanda-tangani Bapak, sebab nanti siang Pak Yusuf Pramono akan mengambilnya” , kata Reni lagi.
“Okay, tinggalkan saja dulu, nanti saya panggil lagi kamu setelah kutandatangani” , kataku datar. Reni menaruh beberapa map “feasability study” untuk beberapa proyek pabrik konveksi yang mengambil kredit dari bank dimana aku bekerja. Dia keluar ruanganku dengan lirikan matanya yang semakin manja. Ah, boleh juga tuh cewek pikirku, bodinya cukup montok, hitam manis dengan buah dada yang terlihat menonjol besar keluar dari blousenya. Tapi setiap aku kepingin iseng-iseng menggoda Reni bayangan wajah Diana selalu berkelebat di depan mataku, seakan mengingatkan janji dan kesetiaanku. Ah, kamu mau menang sendiri Ning! gumamku dalam hati, sedangkan kamu nikmat-enakan dengan suamimu.
Aku selalu membayangkan Diana telanjang bulat setiap malam dengan suaminya dan bermain cinta di ranjang berdua, tanpa takut ketahuan orang, tanpa takut diganggu orang karena memang suami-isteri sah dan lupa pada diriku. Kemudian pada akhir klimaks-nya Diana melenguh dan meregang sambil memuji sayang suaminya, sama seperti dilakukannya padaku. “Uuh! kamu memang nggak setia Diana! kamu tega meninggalkan aku sendirian di Jakarta , sedangkan kamu nikmat-enakan tiap malam ngentot dengan suamimu. Kamu bilang nggak cinta, tapi lama lama kamu suka juga dimasukin penisnya! Brengsek kamu Diana!!! dan bodohnya aku tetap saja setia menunggu barang bekasan lelaki lain.”
Sekretarisku masuk lagi ke ruang kerjaku, ada apa pikirku, belum dipanggil kok masuk lagi. Jangan-jangan dia memang sudah kegatelan mau kucumbu. Aku sudah mempunyai pikiran buruk untuk menggodanya untuk mengobati kekesalanku pada Diana dan aku hampir yakin bahwa dia pun pasti menginginkan aku berbuat sesuatu yang mengasyikan padanya
“Ada apa lagi?” kataku pura-pura tetap berwibawa seperti biasanya.
“Anu, Pak.. ada telepon dari Ibu Diana, Bandung!” katanya mengandung curiga. “Hah, Diana! Ada apa lagi dia, mau ceDiana asyik-masyuk pengantin barunya dengan si Yudi itu?” pikirku dalam hati. “Cepat, sambungin ke sini!” jawabku cepat dan spontan. Heran, setiap kudengar nama dia, apalagi akan mendengar suaranya setelah hampir sebulan tidak ketemu, kebencian dan cemburuku pada suaminya seperti mendadak hilang tak berbekas. Sekretarisku bergegas keluar kembali untuk menyambungkan saluran telepon dari Diana, terlihat raut mukanya agak ditekuk. Aku yakin dia nggak begitu suka jika Diana telepon, mungkin juga cemburu, karena dia tahu aku punya hubungan khusus dengan bekas sekretarisku itu.
“Hallo, Papah, ini Mamah, apa khabar sayang?” suara Diana di seberang sana terdengan merdu di kupingku.
“Baik saja kok, kamu gimana?” kataku datar.
“Pah, Mamah sangat rindu deh, kapan Papah mau ke Bandung?” jawabnya lagi.
Tiba-tiba timbul pikiranku untuk menggodanya, sekaligus menumpahkan kekesalan dan kecemburuanku.
“Ah, masa sih kamu kangen saya, kan tiap malam ada teman sekasur, nikmat lagi, nggak takut ketahuan orang, tiap jam, tiap saat mau mainkan tinggal buka celananya, penisnya gede lagi, pasti kamu melenguh keenakan!” jawabku nyerocos seenaknya dan rasanya plong hatiku setelah mengatakannya.
“Papah, kok gitu sih? Papah jahat deh, Mamah nggak nyangka Papah bicara begitu, padahal setiap detik, setiap hari Mamah rindu padamu!” ungkapnya dengan nada agak tinggi. Aku terdiam, nggak tahu mau ngomong apa lagi.
“Pah, kamu masih mau denger Mamah nggak?” Diana berkata lagi.
“Pah, Mamah interlokal nih, jadi mesti menghemat, Mamah kan isteri pegawai kecil, mesti ngiNing, masih mau dengar nggak?”
“Iya, iya, aku masih dengar kok, terus saja ngomong, aku dengerin”, kataku sekenanya.
“Papah kok gitu sih, Papah kelihatannya nggak rindu sama Mamah? ya sudah, Mamah tutup teleponnya ya!” serunya mulai emosi. Aku masih saja mau menggodanya, rasanya kesal dan cemburuku belum hilang betul.
“silakan, memangnya siapa yang telepon duluan?” lanjutku lagi.
“Oh, gitu ya, kamu memang egois, kamu nggak mau ngerti, mau menang sendiri, kamu selalu mengungkit perkawinanku, padahal semuanya terjadi bukan karena mauku. Kenapa dulu Papah nggak beReni mengawini Mamah? Jawabnya karena Papah sudah punya anak, isteri dan kedudukan tinggi. Apakah itu bukan egois namanya? Tapi Mamah tetap menyintaimu dengan sepenuh hati, apa Papah pikir Mamah juga nggak cemburu, bertahun-tahun mencintai laki-laki yang sudah jadi suami orang? Apa Mamah harus jadi perawan tua dan hanya selingan kamu?”
Terdengar suaranya mulai keras dan terbata-bata, mungkin menahan tangis.
“Ya sudah, Mamah nggak bakalan telepon Papah lagi, biarlah Mamah menanggung rindu dan mencintai Papah sampai mati, Mamah nggak akan ganggu Papah lagi kalau memang sudah tidak dibutuhkan! Tapi kamu mesti ingat Pah, bahwa bayi di kandungan Mamah adalah anakmu, bayi ini adalah darah dagingmu, kamulah yang membentuk dan menjadikan janin anakmu ini, si Yudi bukan bapaknya yang sesungguhnya, dia nggak tahu bahwa aku sudah mengandung benih anakmu ketika kawin.”
Diana terdengar menutupi kesedihannya dengan omelan panjang yang memerahkan kupingku. Ah, dasar perempuan, kalau sudah merajuk dan mengamuk, hatiku selalu luluh dengan perasaan cintaku kepadanya, cintaku yang memang sangat mendalam dan tidak bisa terlupakan, apapun yang terjadi dan bagaimanapun status Diana sekarang yang sudah menjadi Nyonya Yudi Prayogo. Aku takut Diana segera menutup teleponnya, makanya segera kularang dia.
“Mah, tunggu! jangan tutup dulu teleponnya, oke…oke… , maafkan Papah, Papah juga rindu, Papah sayang, Papah selalu mencintaimu, kamu dengar itu sayang?” aku menyerocos tak terkendali, menumpahkan perasaanku yang sesungguhnya.
“Ya sudah, tak apa, Mamah selalu memaafkan kamu, sekarang catat nomor telepon Mamah dan Mamah tunggu kamu di Bandung segera kalau Papah masih sayang Mamah, mumpung si Yudi lagi tugas seminggu ke Malang!” perintah Diana. Kucatat nomor teleponnya dan aku berjanji untuk segera datang ke Bandung menemuinya, kasihan Dianaku kesepian dan sangat merindukanku. Aku janji untuk datang hari Jumat sore dengan kereta Parahyangan dan menginap di Hotel Kumala Panghegar. Aku sengaja tidak bawa mobil dan sopirku sebab bisa berabe nanti kalau sopirku tahu aku masih berhubungan dengan Diana.
Pada Jum’at sore aku sudah tiba di stasiun kereta api Bandung dan temanku kepala cabang di Bandung telah siap menjemputku di stasiun. “Gila lu Zen, kau rupanya masih juga berhubungan sama Dianamu itu!” katanya sambil menepuk bahuku, setelah kami bertemu di stasiun. Aku hanya tersenyum saja. Togar Sihombing temanku itu memang satu-satunya sejawatku yang mengetahui hubungan intimku dengan Diana, sejak Diana masih menjadi sekretarisku. “Hati-hati kamu Zen, di sini kamu lagi bertamu, nanti ditangkep satpam suaminya tau rasa kau!” katanya meledek. Karena rahasiaku dan Diana memang sudah di tangannya, aku tak sungkan-sungkan meminta supaya Togar bisa jemput Dianaku dari rumahnya di daerah Pasir Kaliki dan dibawa ke kamar hotelku. Aku suruh dia mengatur segalanya, termasuk keamanan hotel Kumala Penghegar, agar aku bisa tenang dan santai dengan Dianaku semalam suntuk, bahkan kalau bisa sampai minggu pagi.
Kira-kira satu setengah jam aku menunggu di kamar hotel, pintu diketuk dari luar dan waktu kubuka pintu kamarku, ternyata Dianaku sudah berdiri sendirian. Dia tersenyum manis dengan lipstik merah tua tipis, kontras dengan mukanya yang putih mulus. Badannya semakin bersih dan montok, mungkin pengaruh kandungannya yang jalan dua bulan, sehingga buah dadanya terlihat semakin membesar dan pinggulnya semakin bulat berisi. Terlihat perutnya sedikit membesar dan itu semakin membangkitkan gairahku. Kata orang, wanita yang sedang hamil dua atau tiga bulan itu sedang cantik-cantiknya dan akan sangat menggemaskan laki-laki yang melihatnya, apalagi dalam keadaan polos. Kuraih tangannya dan kutarik dia ke kamarku. Setelah mengunci kamar dengan double-locked, kupeluk dan kucium dia dengan penuh kerinduan, Diana membalas hangat. Kuminta air liurnya seperti biasa ketika kami berciuman dan kutelan dalam-dalam ludahnya yang tetap wangi itu. Baru aku sadar untuk menanyakan kawanku Togar, setelah Diana melepaskan ciumanku yang menggebu-gebu sehingga terengah-engah kehabisan napas.
“Kemana si batak itu?” tanyaku.
“Dia pulang dulu katanya, setelah mengantar Mamah sampai ke pintu kamarmu”, jawab Diana. Tahu betul tuh batak satu.
“Kok, Papah kelihatan kurusan? katanya lagi sambil memandangiku dari ujung kaki ke ujung rambut.
“Masa? barangkali kurus mikirin kamu. Apa khabar sayang? senang ya hidup di Bandung?” dia merebahkan badannya di pelukanku, sehingga aku terdorong rebah ke ranjang karena Diana semakin berat badannya.
“Apa kabarnya suamimu? Kok punya isteri cantik ditinggal-tinggal terus”, godaku muncul lagi.
“Ah, sudahlah, nggak usah nanya dia, namanya juga pegawai rendahan, harus mau ditugaskan ke mana saja.” Jawab Diana.
“Pah, Mamah kangen dan rindu banget deh”, katanya lagi sambil berbalik menindih tubuhku. Oh, Dianaku semakin bahenol saja badannya, dan buah dadanya yang semakin montok menekan dadaku.
“Hati-hati dengan perutmu sayang, nanti anak kita kejepit.” Diana tak peduli, dia terus merangsek dan menciumi seluruh mukaku dan kupingku sehingga seluruh tubuhku merinding dibuatnya.
“Oooohh… Papah, Mamah gemes dan rindu deh!” ujarnya sambil menjulurkan lidahnya yang harum ke bibirku, tentu saja kusambut hangat dan segera menghisap lidahnya dalam-dalam sambil kugigit sayang. Diana melotot manja, “aachh… sakiiitt dong Paahh!” Kukulum lagi lidahnya dan kusedot sambil memejamkan mataku, Diana mulai melenguh bahagia sambil sekali lagi menumpahkan liurnya untuk kuhisap dan kutelan dalam. Kubalikkan badannya pelan-pelan karena Diana sedang berisi, dan segera saja kubuka pakaiannya. Diana diam saja dengan mata terpejam. Kulempar satu persatu roknya, blousnya, blazernya, dan terakhir celana dalamnya. Oh, Dianaku semakin montok dan menggairahkan. Pahanya, betisnya yang putih bersih, ditumbuhi bulu-bulu halus, pinggulnya semakin montok berisi dan vaginanya dengan bulu-bulu hitam tipis kemerahan semakin menggairahkan. Kujilati badannya mulai dari ujung kaki, naik ke betis, paha dan bermuara di selangkangan dan vaginanya. Diana mulai menggeliat-geliat kegelian.
“Paahh, ooogghh Mamah rindu jilatanmu seperti ini, oooogghh.” lenguhan Dianaku baru lagi kudengar setelah dua bulan tidak ketemu. “Papah buka pakaiannya dong!” kata Diana mulai nggak sabar. Aku segera menanggalkan seluruh pakaian yang melekat dan ketika CD-ku kulepas, penisku langsung mencuat keluar dengan tegang. Diana tersenyum manja dan langsung menyergap penisku dengan kuluman mautnya.
“Paahh… Mamah rindu penis iniiii, eeeemmggghh enaakkk Paahh, kok sudah assiinn?” Mulutnya menyedot-nyedot penisku sambil mundur maju, aku merasakan kenikmatan luar biasa. Diana mengigit-gigit batang penisku yang mulai menegang seperti kayu.
“Maahh, ooogghh teruusss oooggghh, tapi jangaann oooghh, keras-keras gigitnya!” aku mulai merem-melek keasyikan. Diana semakin kencang menghisap-hisap penisku sambil memejamkan matanya, sementara buah-dadanya berayun-ayun ketika dia menaik-turunkan mulutnya sampai batang penisku masuk semua di mulutnya.
“Paah, sudah keluar lendirnya, asiiiin!” sambil menelan cairan penisku, dan hisapannya semakin menjadi-jadi di kepala penisku sambil menghisap-hisap lendir penisku. “Eeeemmhh… enaak Paahh.” Aku semakin merem melek sambil menggapai buah dadanya, dan ketika tanganku berhasil meraihnya, kuremas-remas buah dadanya yang semakin kenyal dan kupilin putingnya yang kemarahan seperti buah delima matang.
“Maahh.. ooogghh… udaahh duluuu yaang, Papah nggak tahaannn… oooghh.”
Aku menggelinjang kuat ketika hisapannya semakin asyik di kepala penisku. “Sekarang giliran Mamah yang tidur.” Diana telentang pasrah, kedua kakinya kurenggangkan, kuusap-usap perutnya yang mulai kelihatan sedikit buncit mengandung anakku. Kubenamkan mukaku di selangkangannya sambil kujilat kedua selangkangannya dan dengan cepat kujilat pula lubang duburnya. Diana selalu nggak tahan kalau kujilat lubang pantatnya. Dia menggelinjang kegelian sambil merintih. “Aduuuhh, Papah jahaat!” Kumainkan klitorisnya dan lubang vaginanya dengan lidahku dan kukeluarkan ludahku membasahinya sehingga terasa semakin nikmat ketika kuhisap cairan vaginanya yang sudah mulai keluar bercampur ludahku. Asin, manis dan gurih. Kutelan dalam-dalam. Diana mulai menaik-turunkan pinggulnya kegelian.
“Paahh, eeemmggghh.. .. ooogghh, teruuusss… Paahh, lidahnya kayak kontoool.” Dia terus melenguh seperti biasanya, dan lenguhannya ini yang tak bisa kulupakan. Lidahku yang tegang semakin kujulurkan ke dalam lubang vaginanya, kumainkan klitorisnya dengan lidah digetarkan, Diana menggelinjang hebat. Rongga-rongka vaginanya kulumat dan kujelajahi dengan lidahku, sementara bibirku melumat kelentitnya yang memerah.
“Oooooghh… Papaahh… nikmaat… teruuusss Paahh! Diana menaik-turunkan pantatnya semakin tinggi, sehingga lidahku seperti penis menancap dalam di vaginanya.
“Aduuhh… Paahh… oooogghh… Paahh, Mamaahh… oogghh… enaakkk!” mulai deh Diana melenguh panjang. “Paah, hayo naik deh, Mamah sudah nggak tahan, masukin cepet penisnya sayaang!” Diana semakin melebarkan selangkangannya dan menggapai badanku. Aku bangun dan menidurinya dengan hati-hati karena sekarang Diana sedang berbadan dua. penisku sudah keras seperti batu dan mengangguk-ngangguk gagah mencari mangsa. penis pun tahu bahwa kesukaannya ada di depannya, vagina Diana memang sudah tak asing lagi buat penisku sehingga begitu bersentuhan saja langsung mengeras bukan main. Seperti batu! Dan Diana memang nggak bakal lupa dengan keperkasaan penisku yang mulai dikenalnya sejak dia perawan, untuk pertama kali menikmati penis lelaki.
Kugesekan penisku di pahanya, Diana kegelian, dan memberikan kode supaya langsung ditancapkan ke vaginanya yang sudah menganga, basah, hangat dan mulai menyedot-nyedot mencari mangsa. Kubenamkan kepala penisku sedikit demi sedikit, oh hangatnya vagina Diana dan vaginanya mulai bereaksi menyedot-nyedot, empot-ayamnya mulai main. Kutarik lagi penisku, sehingga pinggul Diana ikut naik karena sudah tidak sabar ingin melumat penisku. Kubenamkan lagi batang penisku perlahan, Diana menaikkan pinggulnya ke atas, sehingga batang penisku setengah ditelan vaginanya. Pinggulnya diputar-putarkan sambil mengeluarkan jurus “empot-ayamnya” .
“Oooogggghh, Mamaahh… uughhgghh… nikmaattt aduhh.” Desahanku membuat Diana semakin semangat menaik-turunkan pinggulnya, hingga batang penisku semakin amblas ditelan vaginanya yang tetap saja sempit.
“Paahh tekaannnn Paahh… Mamaahh… oogghh… nikmaattt sekalii.” Pinggul Diana dan badannya semakin bahenol dan seksi, perutnya yang sedikit membesar membuat nafsuku semakin menjadi-jadi. Kuganjal pantatnya dengan bantal dan aku setengah duduk dengan bertumpu pada dengkul menggenjot penisku keluar masuk vagina Diana yang semakin naik ditopang bantal sehingga seluruh rongga vaginanya terlihat jelas. “Bleeesss… creekkkk…. bleeees… creeekkk, gesekan dahsyat penis dan vaginanya yang empot ayam semakin ramai saja. Daging vaginanya terlihat seperti terbawa ketika kucabut batang penisku saking sempitnya. Dan “empot-ayam” -nya dikeluarkan kalau senggama dengan aku saja katanya, sedangkan dengan suaminya tetap seperti layaknya “gedebong pisang”.
“Paah…, aduuhh, Paahh.., kontoolnya ooghh, Mamaahh… nggaak tahaan… Paahh!” Diana seperti nggak ingat sedang hamil, badannya bergetar, pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri dan ke kanan merasakan kenikmatan penisku yang perkasa.
“Paahh… ooghh…. eemmghh… oozzzhh… aauugghh… eeemmhh… teruuzshh… tusuuukk…. Paahhghh”, lenguhan itu yang sangat kudambakan. Aku seperti lelaki yang sangat dibutuhkan Dianaku, tidak ada lelaki lain yang bisa memuaskannya lahir batin.
Aku semakin gila menyodokkan penisku keluar masuk vagina Diana, kuangkat kaki kirinya ke atas dan kutenggelamkan seluruh batang penisku sampai terasa mentok di ujung lubang vaginanya.
“Oooogghh… apaahh… uughhzz… Papaahh… nikmaatt… ooghh…. teruss… aduuuuhh… teruuss, Mamaahh… maooo… keluaarr!” Diana berteriak-teriak keras sekali sambil seluruh badannya bergetar dan bergoyang, keringat kami bercucuran seperti habis mandi membasahi sprei. “Paahh, kenapa dicabut?” Diana mendelik waktu penisku mendadak dicabut dari lubang vaginanya. Diana tersenyum lagi ketika kuminta dia menungging, supaya kami bisa bermain dengan “doggy style”. Wow, pinggulnya yang putih mulus semakin berisi dan bahenol saja menambah nafsuku semakin menjadi, ketika Diana menungging. Kuhisap dan kujilat lendir vaginanya dari belakang, sekalian lubang pantatnya, Diana melenguh panjang. Dia memang paling geli kalau dijilat lubang pantatnya. “Papaahh…. aduhh…. Mamaahh, nggak tahaan doongg… Cepat masukin penisnyaa!” teriak Diana sambil menunggingkan pantatnya, sehingga terlihat vaginanya yang merah jambu dan sedikit basah itu. Penisku yang lagi tegang-tegangnya kuarahkan ke lubang vaginanya seperti mengarahkan meriam “Si Jagur” siap menembak tank-tank belanda. Dan… “Bleeeesszzhh. ..” penisku menyeruak ke dalam “gua kenikmatan dunia” Dianaku.
Diana kembali melenguh panjang. “Paahh… oooggghh…, teruuss kocookk sayaang!” Aku mulai menarik dan membenamkan batang penisku keluar masuk lubang vaginanya yang terasa semakin sempit dan menyedot-nyedot kalau bersenggama dengan “doggy style” kesukaan kami berdua. “Oooggghh… Maahh, Papah enaakkk… ooooggghh… hhzzz… aahzzoogghh. .. duuh…. Maahh… aa… duuhh gilaa… yaangg, teruuss goyaang.. cakeeep!” Diana memundur-majukan pantat dan pinggulnya semakin cepat sehingga bed kamar hotelku berdeNing-deNing bunyinya. Keringat kami jatuh bercucuran. Nikmat sekali rasanya bersenggama dengan kekasihku tersayang ini. Jiwa raga kami rasanya bersatu-padu.
“Aduuuhh… Papaahh… ooggghh… enaakkk… Paahh, teruusss Paahh genjot… teruuuss… aahh… lebih kenceng, oooggghh… aahhzzzzhh.. . duhh”, badan Diana berguncang-guncang keras, goyangan pinggul dan pantatnya tambah menggila dan lubang vaginanya seakan mau melumat habis dan mematahkan batang penisku. Air maniku rasanya sudah mengumpul di kepala penisku, siap disemprotkan kapan saja kalau mau, tapi aku mau agar Dianaku dulu yang klimaks supaya dia puas. Belum tentu kami bisa ketemu seminggu sekali, padahal dia pernah bilang bahwa kalau kami bisa kawin mungkin bisa berhubungan badan setiap malam, karena penisku terasa nikmat sekali rasanya katanya suatu hari sambil melumat lendirku yang keluar di mulutnya, dan Diana nggak geli menelan semua air maniku.
“Paahh… Mamaahh… ooggghh… Paahh… aaduuhh… oggzz… giillaa…. aahh.. ooogghh… Mamaahh…. ooghh… Maauu keluaarrr!”
“Tungguu sayaangg.. Mamaah berbalik dulu telentang lagi”, perintahku, kami sudah hampir mencapai orgasme. Kucabut penisku, Diana kemudian telentang dengan kedua kaki dibuka lebar. Vagina dan lubang pantatnya kubersihkan dulu dengan jilatan lidahku penuh nafsu. Kutelan habis cairan vaginanya yang asin, wangi dan gurih itu. Dia menggelinjang sambil bergumam “Aduuuhh, ooogghh, Papah jahaat!” sambil tersenyum manja dan matanya merem-melek. “Cepetan masukin lagi penisnya Paahh, Mamah sudah nggak tahan nih!” Aku segera menaiki tubuhnya dengan hati-hati takut kandungannya tertekan dan anakku kesakitan. Kuarahkan lagi batang penisku yang sudah merah legam seperti batu dibakar untuk siap bertempur sampai titik darah putihku terakhir, demi untuk Dianaku tersayang.
Dan… “Bleeezzzhh” dan Diana melenguh panjang sekali “Oooogghh Paahh.. kocookkkhh yangghhzz..” Kutarik cepat penisku sampai kepalanya nongol ke permukaan vaginanya dan seketika itu juga kubenamkan habis batang penisku ke lubang vaginanya sampai terasa mentok. Diana melenguh panjang. “Oooggghh Paahh aduuuhh gilaa nikmaat.” Kucabut lagi batang penisku tiba-tiba dan kubenamkan lagi kuat-kuat ke dalam vaginanya, dengan style agak miring, terkadang dari lubang sebelah kanan, terkadang masuk dari lubang sebelah kirinya, membuat Diana terbuai kenikmatan luar biasa. “Ooooowww ooogghh aahh Papahh enaakkhh duhh ampuunnn duuhh ooghhz…. Paahhzz!” teriakannya melengking-lengking , seperti nggak peduli kalau ada yang dengar. Aku semakin bernafsu, keringatku bercucuran, penisku terasa semakin tegang dan mau meledak dan terasa panas sekali seperti gunung mau memuntahkan laharnya. “Maahh.. ooghhzz Maahh Nonooknya gilaa empot ayaamm!”
“Goyaanggg teruusss oogghh yuuu bareeeng keluariiin Maahhggzz!
Kami semakin menggila saja, aku menusukkan batang penisku dan mencabutnya setiap “setengah detik” sekali, dan goyangan pantat dan pinggul Diana semakin menjadi-jadi. Tempat tidur semakin ramai berdeNing-deNing, keringat kami bercucuran seperti mandi sambil bersenggama, atau bersenggama sambil mandi, bercampur menjadi satu menambah kenikmatan dan rasa menyatu yang bukan main indahnya. Diana semakin menggila, mengelepar-gelepar keasyikan, matanya merem-melek. Kucium dan kulumat seluruh wajahnya, bibirnya, jidatnya, ludahnya kusedot dalam-dalam. Diana menggigit lidahku keras sekali sampai aku menjeNing kesakitan. Itu tandanya Dianaku mau ejakulasi dan klimaks. Kukuatkan agar cairan air sorgaku nggak muncrat dulu sampai Dianaku mencapai klimaksnya.
Tiba-tiba… “Paahh oooggghh aduuuhh Maamah keluuaarr ooghh aduuhh gilaa ooowwwhzz aahh Papaahh.. uuughh uughh uuugghh”, dia sekali lagi menggigit lidahku sampai berdarah barangkali, sambil mencubit keras pahaku, itu memang kebiasaannya kalau meregang menahan klimaks luar biasa. Aku tak peduli apapun yang dilakukan Dianaku demi kepuasan kekasihku ini. Aku terus menggenjotkan penisku semakin gila dan rasanya sudah nggak tahan lagi menahan spermaku muncrat di vaginanya yang kusayangi. Diana sudah kepayahan rupanya, katanya vaginanya terasa ngilu kalau dia keluar duluan dan aku masih semangat menggenjotkan penisku keluar masuk vaginanya.
“Cepeeet dooong yaang aach Mamaah capeee”, katanya dan akhirnya… “Ooogghh.. Maahh.. Papah jugaa keluaarrr… ooooghh.. oooghh… oooghh.. Mamaahh… aduuuuhh eemmhhzz! Kami sama-sama meregang, mengejang, mendelik, menggelepar, seakan jiwa raga kami terbang ke angkasa luas nan indah, ke alam surgawi dunia fana entah sampai kapan kami akan memagut cinta, tapi rasanya memang sulit berpisah. Kupeluk dan kucium Dianaku yang terkulai puas dengan senyuman tersungging di bibirnya yang merah muda tanpa gincu. Kulumat lagi bibirnya habis-habisan, dia melenguh manja dengan mata tertutup letih tanda puas yang luar biasa.
“Paahh, Mamah cinta… jangan tinggalin Mamah ya sayaang!” Aku mengangguk saja karena aku pun sangat mencintainya. Kemudian Diana dan aku rupanya tertidur pulas dalam keadaan berpelukan mesra dan bugil dan penisku masih sedikit menancap di vaginanya. Kulihat jam tanganku sudah menunjukan jam dua pagi. Hawa dingin kota Bandung dan ketika aku tersadar bahwa kekasihku masih tergolek mesra di pelukanku dengan telanjang bulat, nafsuku mulai bangkit kembali dan penisku sedikit demi sedikit mulai menegang dan keras kembali.
Kubangunkan Dianaku, dia terbangun kami sama-sama berciuman kembali walaupun belum gosok gigi. Tapi cinta mengalahkan segalanya, semuanya terasa indah dan harum wangi. Diana juga kemudian terangsang kembali dan kami bersenggama lagi habis-habisan sampai jam empat pagi sampai seluruh badan terasa lemas dan lunglai. Nggak apa, kami makan apa saja yang membuat tubuh segar kembali dengan memesan ke Room Service. Hari Sabtu pagi sampai siang hari kami terus tidur berpelukan mesra, pintu kamar terus berstatus “DO NOT DISTURB” sebab ada dua sejoli yang sedang memagut kasih, dan sampai Minggu pagi kami terus bercinta dan bersetubuh tak bosan-bosannya sampai tujuh kali. Minggu siang sekitar jam 12.00 Togar datang sesuai janji untuk mengantarkan Diana pulang, sambil mendropku di stasiun kereta api. Oh, setianya Batak satu ini, benar-benar kawan sejati dia. Dia cuma cengar-cengir penuh arti ketika bersalaman di stasiun dan berpisah denganku.
Dari mobil, Diana melambaikan tangan dan menempelkannya di bibirnya. “Hati-hati kau bawa dia kawan, dia sedang mengandung anakku, cari jalan yang mulus!” perintahku pada Togar. “Siap boss, akan kulaksanakan perintahmu!” katanya tegas. Batak ini memang tegas dan kasar, tapi hatinya sangat lembut dan baik. Sekali lagi aku berpelukan dengan Togar, sebelum Kijangnya yang membawa Diana hilang dari pandanganku.
Aku berjanji pada Diana untuk sesering mungkin datang ke Bandung, tak peduli apakah si Yudi keluar kota atau tidak sebab cinta kami begitu indah.
One thought on “Cerita Sektretaris Baruku Yang Ciwai”