Istri Tukang Bakso yang Cantik
31 mins read

Istri Tukang Bakso yang Cantik

Gairah Dewasa – Nama Gue Domu, Pada dasarnya, gua ini orang yang senang bergaul. Gua orang yang gemar berada dalam sebuah komunitas atau perkumpulan. Baik yang positif (apalagi) yang rada negative. Hehe.

Gua ini orangnya supel. Suka pelempuan~

Tapi, seperti halnya kebanyakan masyarakat urban, masyarakat kelas menengah ngehek, gua justru luput menjalin hubungan dengan tetangga sekitar.

Baca Juga : Kenikmatan Duniawi Bersama Bibiku

Gua gak tau siapa-siapa tetangga yang tinggal bahkan disebelah rumah gua sendiri. Tapi sebetulnya, selain karena memang gua yang kurang peduli juga karena sebelah rumah gua itu kontrakan rumah toko (ruko) yang penghuninya sering berganti seiring musim yang sedang terjadi.

Kalo musim hujan, biasanya ruko diisi sama tukang bakso. Kalo musim kemarau, diisi sama tukang cendol. Gua gak tau bakal diisi sama tukang apa kalo di Indonesia ada musim salju. Besar kemungkinan diisi sama tukang jamu.

Suatu hari, dirumah gua menggelar sebuah pertemuan yang dihadiri ratusan orang. Karena rumah gua gak cukup untuk menampung ratusan orang (rumah gua cuma cukup menampung 99 orang. Hehe) maka terpaksa harus menggelar tiker sampai keluar rumah, yaitu jalanan komplek yang sekaligus menjadi jalanan umum masyarakat sekitar menuju jalan raya utama.

Gua baru sampai rumah jam 8 malam dan cukup kaget melihat rumah gua bak studio JKT48. Gua pikir omongan nyokap dipagi hari, “Nanti malem ada acara dirumah..” cuma acara rutin macem pengajian atau arisan warga, ternyata lebih dari pada itu.

Karena enggan, “permisi-permisi..” untuk masuk ke dalem rumah, gua pun akhirnya menunggu acara selesai disebelah rumah. Diruko tukang jamu, eh, ruko tukang bakso.

Satu jam berlalu sambil ngobrol ngalor-ngidul sama kang bakso yang tau muka tapi tidak tau nama gua, begitu pun dengan gua sendiri. Akhirnya kami pun berkenalan. Dan akhirnya kang bakso yang bernama Mas Taryono ini gua pake. Yakali!

Mas Yono, begitu biasa dia disapa, usianya hampir 50 tahun. Dia baru punya satu anak perempuan, namanya Reni. Usianya tak lebih dari 10 tahun. Sedang lucu-lucunya. Waktu gua ngobrol sama Mas Yono, Reni beberapa kali keluar masuk menggali perhatian gua yang sebelumnya, saat pertama kali melihat dia, gua menggodanya. Anak kecil tau sendiri kalo digodain, maunya terus dan terus.

Karena tak kuat menahan kencing, gua pun meminta izin Mas Yono untuk pakai kamar mandinya. Mas Yono kemudian mempersilahkan gua setelah sebelumnya masuk ke dalam. Besar kemungkinan dia sedang membersihkan kamar mandinya agar “layak dipinjam”.

Ruko Mas Yono ini memiliki tiga ruangan/petak. Petak pertama tempatnya berjualan, petak kedua kamar tidur, dan petak terakhir dapur serta kamar mandi. Lebarnya 4 meter dan panjang 10 meter. Yang berminat ngontrak silahkan pm. Lah!

Saat masuk kedalam, menuju kamar mandi, ada istri Mas Yono, sedang menonton tv. Karena gua diantar Mas Yono, gua pun hanya sepintas lalu melihat istrinya yang sedang ‘diusel-usel’ sama Reni.

Setelah selesai buang hajat, (yap, abis kencing, mendadak gua mau boker) gua pun keluar kamar mandi. Saat baru saja keluar dari area dapur memasuki area kamar tidur, Reni (kembali) ngajak bercanda. Dia sembunyi dibalik tembok, kemudian seperti seolah-olah mengagetkan gua sembari memeluk sekitaran kaki dan paha gua sambil tertawa cekakakan.

Mas Yono yang sedang melayani pembeli terdengar memperingatkan buah hatinya itu untuk tidak mengganggu. Tapi apakah gua merasa terganggu? Tentu tidak. Kejadian itu gua manfaatkan untuk melihat dengan seksama sosok istri Mas Yono.

“Wow..” Gerak mulut gua saat melihatnya. Istri Mas Yono kemudian meminta Reni untuk kembali anteng atau duduk dikasur. Gua sempat tersenyum dan menganggukkan kepala saat saling menatap dengan istri Mas Yono. Dia pun balas tersenyum dan mengangguk.

Mas Yono ini sepertinya punya aji-ajian dari mbah dukun. Karena kalo dicari alasan logis perempuan muda, cantik, dan bahenol macam istrinya ini mau ‘diajak’ susah menjalani hidup sama dia, gua gak nemuin.

Istrinya Mas Yono ini cuantik, rek!

Untuk bersanding sama lelaki umur 50 tahunan yang berprofesi sebagai kang bakso, istrinya malah bisa dibilang cantik banget.

Bukan bermaksud merendahkan tukang bakso, tapi wajarnya perempuan cantik yang umurnya terpaut 20 tahun dengan seorang lelaki, cuma akan menikah sama kang korupsi, kang tender, atau kang-kang lainnya yang punya harta melimpah. Lah Mas Yono?

Nama istri Mas Yono ini tak lain dan tak bukan adalah Teh Ivana. Dia dipanggil “Teh” karena lahir dan besar di … Ambon. What? Hehe.

Teh Ivana ini aseli Ciamis. Dia berkenalan dengan Mas Yono diarea wisata pantai daerahnya. Selang sebulan perkelanannya itu, Teh Ivana dilamar dan kemudian dinikahi lalu dibojong Mas Yono ke Jakarta.

Ini yang tadi gua bilang kalo Mas Yono punya aji-ajian. Saat berkenalan dan hendak mempersunting Teh Ivana, usaha bakso Mas Yono hanyalah sekala gerobak dorong yang mana tidak mempunyai pelanggan tetap. Mas Yono mengumpulkan keuntungannya berdagang selama lebih dari 10 tahun untuk menikah dan mencari peruntungan lebih besar dengan mengontrak toko, bahasa kitanya, mangkal. Agar punya pelanggan tetap dan usaha berkembang.

Laba selama 10 tahun itulah modal Mas Yono menemui orang tua Teh Ivana dan memboyongnya ke ibu kota. Kalo Mas Yono gak punya aji-ajian, rasanya orang tua Teh Ivana enggan menyerahkan buah hatinya yang cantik nan montok itu.

Sejarah singkat diatas, disponsori langsung oleh Mas Yono sendiri (selain dugaan punya aji-ajian, tentu saja). Keabsahan dan keakuratannya jelas terverifikasi serta dapat di pertanggungjawabkan. Ngok!

Tidak ada hal istimewa yang terjadi setelah perkenalan dengan tetangga sebelah rumah gua ini. Semua kembali normal seperti biasanya, seiring selesainya acara yang berlangsung dirumah gua. Janganlah kalian berharap gua langsung doggiestlye sama Teh Ivana disaat Mas Yono menggodok gilingan baksonya, jangan! Semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya.

Awal mula perkenalan langsung gua sama Teh Ivana adalah saat gua hendak keluar rumah. Waktu itu gua memarkirkan kendaraan disebelah rumah atau lebih tepatnya didepan ruko Mas Yono karena lupa membawa pulpen. Ou, ouw. Jangan sepelekan pulpen. Googling, ‘lost your pen’ untuk keterangan lebih lanjut.

Karena masih pagi, warung Mas Yono masih tutup. Itu kenapa gua santai aja parkir didepan rukonya. Sekembalinya mengambil pulpen, gua ketemu Reni sama ibunya yang mau berangkat ke sekolah. Gua pun dengan tulus ikhlas tanpa niat kotor mengajak mereka bareng.

Sebenarnya jarak antara area sekolahan sama rumah gua tidaklah jauh-jauh amat. Bahkan tidak lebih dari 2 km. Tapi atas dasar perputaran ekonomi, masyarakat sekitar rumah gua lebih memilih naik ojek ketimbang jalan kaki. “Bagi-bagi rejeki..” begitu alasan dari keengganan berjalan kaki masyarakat urban saat ini.

Teh Ivana awalnya sempat menolak karena mungkin malu atau segan. Tapi karena Reni langsung setuju dan naik ke dalam kendaraan, Teh Ivana tak bisa berbuat apa-apa.

Teh Ivana tampak malu dan kaku, dia membatasi gerak Reni di dalam mobil. Gua sesekali mnggoda Reni dan meng-gpp-kan usaha Teh Ivana meredam tingkah random anaknya. “Gpp, Mba.. Ih, si Mba, kaya gak pernah kecil aja..”

“Bapaknya mana? Masih tidur ya?” Kata gua, bertanya pada Reni yang tampak antusias (mau gua sebut ‘norak’ ga tega) mencet-mencet dan melihat monitor didepannya. Reni hanya menjawab sepintas lalu tanpa melihat kearah gua, “Iya..” katanya.

Teh Ivana yang menyadari tingkah anaknya menggelengkan kepala dan tersenyum malu. Karena anaknya tak menggubris, gua pun lalu mengajak berbicara ibunya. Eaaa. Kalo kata pepatah, “Habis jatuh tertiban janda”

Kalo kata orang jawa, malahane.

“Mba, siapa namanya?”

“Ivana..”

“Aslinya juga satu daerah sama Mas Yono?”

“Oh, ngga. Saya mah dari Ciamis..”

“Ooh, urang sunda. Teteh, dong ya, manggilnya..”

“Hehe, iya..”

Lagi-lagi kalian jangan berharap gua langsung akan meng-wot-kan Teh Ivana didalam mobil. Karena tak lama dari obrolan perkenalan diatas, kami tiba diarea sekolahan. Lagipula masih ada anak dibawah umur.

Setelah kami berpisah semuanya kembali normal seperti biasanya lagi. Tak ada niat kotor, tak ada pikiran mesum, meski bertemu dan bertukar senyum dengan Teh Ivana di hari-hari berikutnya.

Sampai akhirnya, awal mula kemesuman yang kalian tunggu-tunggu hadir juga.

Gua kedatangan tamu dari jauh, seorang teman lama. Kolega gua dalam usaha membawa cewe-cewe mabuk ke dalam gubuk.

Namanya Tedi. Saat ini dia sudah tinggal diluar kota bersama istri, anak, dan ibu mertuanya. Sepaket.

Gua mengajak Tedi makan bakso ditempat Mas Yono karena enggan menambah kemacetan ibu kota diakhir pekan. Entah karena akhir pekan atau habis hujan, ruko Mas Yono kebanjiran pembeli.

“Alhamdulillah, ya Mas kebanjiran pembeli, bukan kebanjiran air got!” Kata gua, coba mencairkan raut sibuk Mas Yono sehingga membuatnya tertawa. Karena ramai, tentu saja, Teh Ivana membantu suaminya melayani pembeli.

Saat itulah, Tedi memberi kode dengan menyolek-nyolek paha gua. Semacam isyarat yang berbunyi, “Bro, Anjirr. Bininya cakep bener nih tukang bakso!”

Gua hanya tersenyum dan sesekali menghentikan colekan Tedi. “Lu kata gua sabun!” kata gua juga dalam bahasa isyarat. Isyarat laraswati~

Gua sama Tedi pun terlibat obrolan tanpa suara saat menunggu baksonya datang. Kalian tau macam mana obrolan tanpa suara, kan? Taulah, pasti. Haha.

Gua menyikut Tedi saat dia mulai ekstrim memandang Teh Ivana yang entah sedang mengambil kembalian atau mencuci mangkok. “Lah, elu mah enak, mau ngeliatin dia pake muka mesum macam apa juga gak masalah. Gua, yang gak enak!” Kata gua saat kembali berbincang dirumah.

“Tapi asli, bro. Itu tadi mbanya boleh tuh, asli. Lah, lakinya aja udah aut, bro!”

“Aut?” Tanya gua, gak ngerti.

“Iya, aut. Tua, bego!” Jawabnya menjelaskan sambil tertawa.

Gua pun tertawa dan mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Tapi Tedi seperti sudah dirasuki iblis mesum piaraan gua sendiri. Dia berkata dengan begitu yakin, “Kalo gua jadi lu, bro. Gua sikat tuh bininya kang bakso! Asli!”

“Sikat, ndasmu sempal!” Balas gua menyudahi kemesuman yang ada.

***

Tedi benar-benar menginspirasi gua untuk menggagahi Teh Ivana. Dia seolah memberikan gua keyakinan kalo Teh Ivana pasti mau diajak selingkuh. “Asli, pasti mau!” begitu kata Tedi, dengan keyakinan tingkat dewa.

Dan, iblis pun menyusun situasi mesum untuk gua.

Malam itu gua sampe rumah sudah sangat larut, sekitar jam 1an. Gua ngeliat Teh Ivana sedang belanja diwarung klontong milik orang Madura, yang pernah gua tanya, “Buka 24 jam ya pak?” Dijawab, “Ngga, cuma sampe pagi kok..” Okee.. Makasih pak.. ~

Setelah markir kendaraan, gua bergegas ke warung klontong itu yang jaraknya tak jauh dari rumah gua.

“Eh, Teh Ivana.. Belum tidur, Teh?”

“Oh, iyaa..” Jawabnya malas. Duh, gak ada peluang nih, batin gua.

“Beli apaan, Teh..” Tanya gua lagi.

“Hah? Ituh, tau nih, bapaknya Reni. Minta makan mie..” Jawabnya setengah terkejut. Teh Ivana tampak murung dan melamun. Gua memandanginya dengan seksama. Baru ngeliatin dia aja, dada gua udah berdebar. Kaki gua gemeter. Dan, yap! Iblis berbisik, “tuh bos, dia nyebut Mas Yono “Bapaknya Reni” bos, bukan “Suamiku”. Itu artinya bisa digoyang imannya, bos! Lanjut, bos!”

“Beli apa mas?” Tanya Teh Ivana? Bukan! Tanya orang Madura. Membuyarkan lamunan gua menatap Teh Ivana.

“Oh. Rokok pak.. Lupa saya. Sama kopi juga deh..”

“Seduh sekalian kopinya?”

“Gak usah, pak. Eh, tapi kalo airnya baru mendidih, boleh deh..”

Tak disangka, Teh Ivana ikut bicara.

“Jam segini malah mau ngopi, mas. Gak tidur emangnya?”

“Hehe, iya Teh. Masih ada kerjaan..”

“Emang, Mas kerjanya dimana?” Tanyanya lagi. Sambil bayar gua ngomong, “Kenapa? Teteh mau ikut? Hehe.” dengan pandangan menggoda. Teh Ivana sesaat kaget, lalu tertawa.

“Duluan, Teh..” Kata gua, kemudian cabut dari warung. Teh Ivana masih menunggu belanjaannya. Dan tak lama, dia pun bergegas pulang.

Teh Ivana cuma berjarak 3 langkah dibelakang gua. Gua sengaja memperlambat jalan gua. Teh Ivana dilema, antara mau duluin gua atau ikutan jalan lambat. Dia milih opsi pertama, mungkin karena sudah ditungguin suaminya.

“Ayo, mas..” Katanya saat berada disebelah gua sesaat mendahului.

“Oh, iya Teh..” Balas gua, sok cuek dengan akting mainan gejet. Dalam hati bergejolak, “minta-ngga-minta-ngga..” Akhirnya gua memilih, Ngga! Haha, cupu banget gua. Minta nomornya aja takut! Yaiyalah, takut. Bini orang, sob!

Tapi iblis punya rencana lain. Saat berada didepan ruko/rumah Teh Ivana, dia kembali bersuara sebelum masuk. Seolah memberikan kode, kalo dia mau kok diajak selingkuh.~

“Awas, Mas, kesandung! Hehe” godanya, yang melihat gua jalan sambil menatap layar gejet. Gua sok cool, menengok kearahnya dan hanya tersenyum. Ingin rasanya ngomong, “Teh, minta nomor teleponnya, Teh..” Tapi itu namanya main kotor. Kemungkinan didenger Mas Yono besar, jadi gua urung melakukannya.

Sampai kamar, gua menyusun rencana dan tidur. Kopi yang gua beli dan udah diseduh, yang hanya menjadi kamuflase itu pun tak tersentuh. “Biarlah jadi rejeki semut..” Batin gua, lalu tidur.

***

Pagi-pagi sekali gua bersiap menjalankan aksi. Hemm, seperti apa aksi gua? Stay tune, gaes!

Pagi-pagi sekali gua sudah berada di area sekolahan tempat Reni sekolah.

Iblis benar-benar sudah menguasai diri gua. Entah dimana keberadaan malaikat.

Rencananya, gua akan mulai mendekatkan diri sama Teh Ivana saat dia menunggu Reni. Dan, melihat umur Teh Ivana yang gak tua-tua amat, dugaan gua dia pasti gak akan ikut nunggu Reni sambil ngerumpi sama ibu-ibu lain yang juga mengantar anaknya.

Tapi dugaan tinggal dugaan. Teh Ivana ikut membaur dengan ibu-ibu. Iblis memberi celah dengan tidak adanya ibu-ibu yang berada di sekitar Teh Ivana yang gua kenal. Jadi, besar kemungkinan juga gak ada yang mengenal gua. Tinggal kemudian gua mencari celah untuk “dilihat” Teh Ivana.

Mulai dari bersiul kearah Teh Ivana, sampai melambai-lambaikan tangan, dia tetap tak sadar keberadaan gua. Tiba-tiba saja ide muncul saat melihat bocah sd keluar dari salah satu kelas (bukan kelasnya Reni), gua langsung mengiming-imingin jajanan dan mengantarnya kembali ke kelas seolah-olah gua adalah sodaranya.

Teh Ivana sedikit kaget melihat keberadaan gua. Gua mengangguk dan tersenyum kearahnya. Setelah si bocah masuk kelas, gua menghampiri Teh Ivana.

“Nganter? Siapa?” Katanya, membuka pembicaraan.

“Oh, iya. Keponakan Teh..”

“Oohh..” Responnya sambil beranjak dari tempat duduk hendak membeli jajanan.

Gua sih yakin kalo dia cuma ngasih peluang ke gua, semacem kode minta ditelanjangin. Atau minimal ini settingan iblis.

“Nungguin sampe pulang, Teh?” Tanya gua. Dia gak gak menjawab, hanya mengangguk. Raut wajahnya tampak risih. Seketika gua bagai tersambar petir. “Anjir, gua cuma kegeeran nih..” Batin gua.

“Teh..” Sapa gua lagi. Pantang menyerah.

“Iya..” Jawabnya, masih dengan raut wajah risih dan cenderung was-was. Gua langsung menyodorkan hp dan minta nomor teleponnya. Dang! Hp gua gak direspon.

Tapi dia malah bilang, “Nomor Mas aja berapa?” sambil mengeluarkan hpnya dan gua pun pamit duluan setelah memberikan nomor hp.

Gua sih ga yakin dia bakal ngontek gua, tapi atas dasar positive thinking untuk kelakuan negative, gua menunggu kontak Teh Ivana. Tak sampai satu jam, ada pesan masuk ke hp gua.

“Ada apa ya, Mas? Maaf, saya risih ngobrol ditempat umum. Takut dikira macem-macem. Ivana.”

Hhhuuaaa.. Teh Ivana. Macam orang dulu aja ngirim Short Messages Service. Hehe

“Hehe, kalo gitu saya Teh yang minta maaf. Ga ada apa-apa Teh, mau kenal aja. Mau ngobrol-ngobrol. Kalo smsan gini masih risih ga, Teh? Hehe”

“Ya kalo sms gini ga risih. Kan gak ada yang liat. Mau kenal? Kan udah kenal. Ngobrol kok sama ibu-ibu sih Mas, sama yang masih gadis aja atuh.”

“Duh, Teh. Kalo sama gadis mah ribet Teh, ambekan. Dikit2 ngambek. Hehe. Teh Ivana tiap hari nungguin Reni?”

“Yah Mas, ibu-ibu juga sering ngambek kok. Namanya juga perempuan. Heee. Iya, tiap hari nungguin. Mas tadi anter anaknya ponakan? Kok baru liat.”

“Hehe, ngga Teh. Sebenernya cuma alesan buat ketemu Teteh aja ”

“Hmm. Mas, tolong jangan nelepon saya yah klo saya lagi dirumah. Takut bapaknya Reni tau nanti malah nyangka macet-macet.”

Pesan terakhir Teh Ivana gak gua bales, tapi gua berinisiatif langsung meneleponnya. Teh Ivana terasa begitu segan dan risih saat menerima telepon gua. Tapi meski begitu, dia juga tak memadamkan percikan untuk digoda. Gua sebagai lelaki normal yang abnormal tentu saja tak melewatkan peluang begitu saja.

Gua mencoba membuatnya nyaman berbicara sama gua. Pelan-pelan Teh Ivana mulai ‘biasa’ dan enjoy dalam berbicara. Sesekali dia bercerita juga bertanya. Nah, kedua hal tersebut adalah koentji sebuah pedekate berhasil atau tidak.

Akhirnya Teh Ivana menyudahi obrolan via telepon itu karena jam pulang Reni sudah tiba. Gua longok jam tangan, ‘pukul 09:50 WIB’.

Diakhir obrolan gua sempet ngomong, “Kalo lagi suntuk sms saya aja, Teh. Siapa tau malah tambah suntuk..” seraya tertawa. Teh Ivana juga tertawa lepas saat menutup teleponnya.

***

Gua pulang kerumah waktu banci pun belum dandan. Pikiran gua dipenuhi strategi-strategi menelanjangi Teh Ivana.

Dan sepertinya, Teh Ivana ini memang minta ditelanjangi. Dia sms gua gak lama setelah gua sampai rumah.

“Tumben Mas jam segini udah pulang? Gak jalan-jalan dulu sama pacarnya? Lagi marahan ya.. Hehehe”

Gua sempat kaget mendapati sms Teh Ivana, karena pas gua liat sebelum masuk rumah, Teh Ivana lagi momong Reni di dekat Mas Yono. Mas Yono sendiri sedang melayani pembeli yang gak banyak-banyak amat dan gak sedikit juga.

“Hehe, bisa aja Teteh. Lagi nonton tv apa masih di depan Teh? Tadi saya lihat kan Teteh di depan.”

“Iya, lagi nonton tv. Udah ga di depan, banyak pembeli. Lagi sekalian nidurin Reni.”

“Nidurin Reni? Mau juga dong Teh, ditidurin. Ahahaha. Becanda, Teh. Loh, banyak pembeli kok gak bantuin Mas Yono?”

“Hmm. Untung cuma becanda. Bantuin kok, tapi sambil nonton tv. Heee.”

“Owgitu..”

Biajingan, gua keabisan ide sampe cuma begitu doang bales smsnya. ‘Owgitu..’ Sms macam apa itu? Macem lagi wasapan atau bbman aja. Padahal di sms tersedia 140 karakter. Eh, bener apa ngga ya? Bodo, ah. Haha.

Tapi ditengah keputusasaan balesan sms gua, Teh Ivana memainkan perannya.

“Besok nganter lagi Mas?”

“Nganter, bareng aja Teh.”

“Gak ah. Ngerepotin.”

“Yah, Teh. Timbang gitu aja ngerepotin.”

“Heeeehe. Boleh deh kalo gak ngerepotin.”

“Eh, sebenernya emang ngerepotin sih Teh. Kecuali kalo abis nganter trus Teteh nungguin Reni-nya diluar sama saya, baru gak ngerepotin.”

“Hmm. Keluar kemana Mas?”

“Gak usah jauh-jauh Teh. Biar jam setengah sepuluh udah sampe sekolahan lagi. Kemana aja, yang penting bisa ngobrol-ngobrol.”

“Gak ah. Takut ada yang liat Mas.”

“Ya kalo gitu, kita pergi ketempat yang gak ada orang liat. Hehe.”

“Mas bisa aja. Udahan dulu ya, Mas. Jangan sms lagi.”

Huhu. Yes!

07:00 WIB

Besoknya, seperti yang sudah dismskan semalem, gua nganter Reni dan Teh Ivana dengan bergaya seolah-olah gak janjian.

Teh Ivana sempat bertanya, “Keponakannya mana Mas?” waktu perjalanan ke sekolah. Tapi gak gua jawab, karena pun dia nanya dengan raut wajah menggoda. Jiguri.

Setelah sampai sekolahan, Teh Ivana mengantar Reni ke kelas. Gua kemudian meneleponnya, memberitau kalo gua nunggu diseberang jalan utama sekolahan. Teh Ivana hanya membalas dengan suara, “Hmm.. He’em.. Iya. Iya. He’em..”

07:30 WIB

Tak sampai 20 menit, Teh Ivana sudah masuk ke dalam mobil yang gua parkir di minimarket. Gua sedang berada di dalam membeli ‘perlengkapan perang’.

Mobil sengaja menyala dan gak gua kunci, Teh Ivana menjalankan semua perintah gua. Nice.

“Kemana Mas?” Tanya Teh Ivana waktu gua baru masuk mobil.

“Kemana ya?” Kata gua sambil memandanginya dari atas sampai bawah, tanpa ada gangguan sedikitpun. Muka Teh Ivana seketika memerah. Kemudian memalingkan pandangannya.

Teh Ivana hanya memakai celana piama. Celana tidur dipadu dengan daster sedengkul dan jaket. Badannya yang bahenol terlihat dari balik pakaian yang berbahan lemas itu. Meski jaket blazernya coba menutupi.

Gua mulai nakal dengan menyentuh bagian rusuknya. Teh Ivana reflek bergoyang. Sekali, dua kali, sampai akhirnya Teh Ivana menghadap gua, lalu meraup wajah gua. Seperti sedang menampar, tapi tanpa tenaga.

“Bajingan, berani nyentuh gua nih ibu-ibu..” Batin gua. Gua pun langsung memanfaatkan dengan memegang tangannya. Teh Ivana membeku. Gua berdebar tak karuan.

“Yang penting, cabut dulu aja Teh dari sini..” Kata gua kemudian sambil keluar parkiran dan gas pol entah kemana.

Dijalan, gua menimang-nimang tempat tujuan. Teh Ivana gak banyak bicara, cenderung sedikit grogi. Raut wajahnya juga tampak khawatir. Entah khawatir gua apa-apain atau khawatir perbuatan nekatnya ini ketahuan Mas Yono.

Di depan gerbang hotel, gua berhenti dan memandang Teh Ivana. Satu, dua, tiga detik, Teh Ivana tak kunjung memandang balik. Gua menggoyangkan jari di lingkaran stir.

Teh Ivana memandang balik. Raut wajahnya bukan sekedar bertanya “Ngapain berhenti didepan hotel?” tapi juga, “..Kalo mau masuk, ya masuk.”

Gua tersenyum lebar. Teh Ivana menghembuskan nafas panjang. Iblis berdendang dijok belakang. Malaikat terbelenggu didalem bagasi.

***

08:00 WIB

“Mas ngapain kita kesini?” Tanya Teh Ivana saat sudah duduk dibibir kasur hotel.

“Ngapain ya Teh enaknya? Hehe. Ngobrol aja Teh..” Jawab gua sambil merebahkan badan dikasur. Teh Ivana membelakangi gua.

“Kan, kalo ngobrol disini gak bakal ada yang liat Teh..”

Teh Ivana sesekali menengok kebelakang, melihat posisi pewe gua. “Sini, Teh, nontonnya sambil rebahan. Kaya waktu saya pertama ngeliat Teteh, kan lagi nonton tv sambil tiduran gini..” Goda gua.

Teh Ivana kembali menengok dan tertawa malu. “Saya duduk, sih waktu itu. Gak tiduran. Dibilangin bapaknya Reni, mau ada yang numpang kamar mandi.”

Didalam kamar, hampir selama setengah jam, hanya gua habiskan dengan ngobrol gak jelas. Sama-sama malu. Sama-sama grogi. Tapi lambat laun, Teh Ivana mulai santai dan berkeliling kamar hotel.

Duduk dimeja rias. Ke kamar mandi. Buka-buka kulkas dan baca majalah. Sesekali mendekat ke arah gua untuk bertanya sesuatu yang ada dikamar hotel. Gua pun justru larut dengan menyia-nyiakan waktu yang ada sambil glesoran dikasur.

Madep kanan, madep kiri, tungkerep, telentang. Glesoran gak karuan.

Sampai akhirnya gua bertanya sesuatu, “Eh, Teh. Kok umurnya bisa beda jauh sih sama Mas Yono?”

Teh Ivana yang sedang duduk didepan meja rias sambil baca majalah kemudian berdiri. Mukanya seketika kesal. “Saya mau balik ke sekolahan, Mas..” Katanya.

Doh, ngambek!

Teh Ivana lalu berjalan menuju pintu, gua langsung beranjak dari kasur dan menahannya.

Kemudian gua minta maaf kalo ada sesuatu yang menyinggung. Teh Ivana tak bergeming. Gua sedikit menarik tangannya. Yang terjadi kemudian sungguh diluar perkiraan.

Gua hanya menarik tangannya pelan untuk mendapat perhatiannya yang sebelumnya enggan memandang gua. Tapi reaksi Teh Ivana seperti baru saja di uppercut Muhammad Ali.

Dia merobohkan badannya yang secara otomatis menimpa badan gua yang lalu terjatuh dikasur.

Sesaat kami saling pandang. Kedua tangan Teh Ivana berada didada gua, sedikit menopang tubuhnya.

Gua lalu melingkarkan tangan gua dibadannya. Teh Ivana tak bereaksi. Masih memandangi gua. Gua salah tingkah. Muka Teh Ivana sedikit berubah menjadi sangat serius. Sesekali dia memejam.

Kemudian gua meraih kedua tangannya. Badan Teh Ivana sepenuhnya menindih badan gua. Payudaranya yang montok mendarat tepat didada gua. Muka Teh Ivana makin berubah saat gua menggoyangkan badannya. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin melumat atau berkata sesuatu.

Gua melepaskan jaket blazzernya. itil sudah tegangan tinggi. Kaki Teh Ivana lurus diatas gua.

Gua lalu meremas bokongnya agar kakinya terbuka. Dan, yap, Teh Ivana mengangkang diatas gua dengan wajah horny.

itil yang sudah tegangan tinggi terasa bersentuh dengan bagian vagina Teh Ivana. Gua menggoyangkan pinggul naik-turun sambil meremas bokongnya. Sebentar saja, Teh Ivana sudah mengikuti irama goyangan.

“Sssstttt..” Desisnya sambil memejamkan mata. Giginya seperti sedang menggigit sesuatu. Gua makin kencang meremas bokongnya.

Tiap gua remas dan bergoyang, Teh Ivana berdesis sambil mengatur nafas. “Sssssttt..”

Tangan gua masuk ke dalam celana piamanya. Mudah saja buat gua karena hanya berbahan kolor. Setelah didalam celana, tangan gua gak meremas bokongnya, tapi langsung menyentuh vaginanya dari atas.

Teh Ivana langsung mencengkram wajah dan melumat bibir gua. “Eemmm…” Desah gua.

Sambil berciuman, saling melahap satu sama lain, gua menarik-narik kancut Teh Ivana. Teh Ivana bergeliat sambil menggoyangkan sendiri pinggulnya. “Sssssttt…hhuuu..” Desahnya kali ini.

Gua lalu mulai meremas payudaranya. Teh Ivana memberi ruang dengan sedikit mengangkat tubuhnya yang berada diatas gua. Sebentar saja, gua langsung membuka tali branya dan mengangkat daster serta branya.

Payudara montok Teh Ivana menggantung diatas wajah gua. Dia menahan tubuhnya dengan kedua tangan dikasur. Setelah menikmati aroma tubuhnya, gua mulai mengulum puting payudara Teh Ivana.

Dari payudara yang satu, ke yang lain. Secara adil gua kulum dan remas payudaranya. Teh Ivana menggoyangkan badannya saat gua sedang melahap salah satu payudaranya.

08:40 WIB

Sambil menjilati putingnya, gua kembali meremas bokongnya.

Teh Ivana makin menikmati kebejatannya. Dia membuka celananya pake satu tangan dengan gerakan yang dinamis, tanpa mengganggu gua yang sedang melahap payudaranya. “Ssssttt.. Aahh..” Desahnya.

Gua lalu membalikkan badan. Teh Ivana telentang sambil bergeliat saat gua melepas celana. “Dasternya, buka Teh..” Kata gua saat hendak menjilati vaginanya yang masih tertutup. Teh Ivana membuka dasternya dan tapi kemudian menarik wajah gua dan memberikan ciuman dahsyat. Dia mencium sambil menyedot.

Gua memasukkan tangan ke dalam kancutnya dan menyentuh vaginanya. Teh Ivana makin melumat bibir gua. Lalu gua memaikan jari dimulut vaginanya. Basah!

Vagina Teh Ivana sudah basah saat gua melepaskan kancutnya, dan saat hendak menjilati, lagi-lagi dia menarik kepala gua. Gua pun akhirnya hanya mengocok vaginanya dengan jari sambil menjilati payudaranya. “Aaaahhhh.. Sssttt.. Aaaauuggghh..” Desahnya.

Kemudian gua memasukkan satu lagi jari ke dalam vaginanya. Teh Ivana mengerang sambil mencengkaram leher gua. Gua melepaskan cengkramannya sambil mempercepat gerakan jari mengocok vaginanya.

Untuk mendapatkan hasil maksimal, gua menegakkan dudukan badan. Yang tadinya sedikit membungkuk mengulum payudara, menjadi duduk tegap disamping badan Teh Ivana yang bergeliat keenakan.

Pemandangan dari sini adalah yang terbaik saat sesi porplei, bro.. Haha. You, know lha.

Teh Ivana tak dapat menyembunyikan raut wajah malu bercampur nafsu saat gua sengaja mengocok vagina sambil memperhatikannya. “Enak, Teh..” Kata gua.

Entah pertanyaan bodoh macam apa itu. Sialnya, itu pertanyaan yang sering diajukan lelaki saat sedang memberikan nikmat ke wanita yang sesang dieksekusi.

Teh Ivana menutupi wajahnya dengan bantal saat tak kuasa mendesah. Dia mendesah dibalik bantal. Gua langsung menyingkirkan bantal. Wajah Teh Ivana tampak sudah tak perduli. Dia benar-benar menikmati gerakan jari-jari gua.

“Aaahhh, aaakkhhh, hhhaaaahhh..” Desahnya sambil meremas salah satu payudaranya. Payudara yang lain, gua bantu meremas.

Sesaat gua bertanya-tanya. “Ini orang udah punya anak kok pentilnya masih bagus?” Sambil memilin dan meremas buah dadanya.

Sesekali gua kembali melumat pentil dan payudaranya. “Aaaakkkhhh…” Desahnya, panjang. Kemudian gua makin cepat mengocok vaginanya. Teh Ivana coba merangkul leher gua, tapi tak bisa karena gua menghindar. Ia lalu mencengkram sprei kasur dengan kedua tangan yang berada diatas kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, gua makin semangat mengocok.

Akhirnya Teh Ivana memuncratkan cairan dari vaginanya. Badannya bergeliat tak karuan. Ia menahan gerakannya sambil mengatur nafas.

09:05 WIB

Teh Ivana terkujur lemas dengan badan sedikit miring. Kedua kakinya menutup vaginanya.

Gua lalu mengeluarkan itil dan mendekatkan ke wajahnya. Gua ‘memukul-mukul’ wajah Teh Ivana dengan pentungan hansip itu. Lalu mulai menggerayangi mulutnya. Teh Ivana urung membuka mulut, dia tampak sedang masih mengumpulkan tenaga.

Gua terus berusaha sambil kembali meremas payudaranya. Lalu membuka kakinya yang menutupi vagina. Teh Ivana kembali terlentang dengan posisi sedikit mengangkang. Gua memberikan sentuhan-sentuhan ringan ke sekujur badannya.

Kemudian setelah menjilati payudaranya, gua menciumi bagian pahanya. Posisi gua masih dengan itil yang berada di wajah Teh Ivana. Gua lalu merebahkan badan disamping dengan posisi terbalik. 69!

Dengan posisi menyamping, gua mulai melumat vagina Teh Ivana. Dia langsung meremas itil. Lalu gua mengangkat badannya menindih badan gua dalam posisi sempurna 69.

Gua menjilati vagina Teh Ivana yang terasa asin. Teh Ivana urung melahap itil sampai gua memasukkan satu jari kedalam vaginanya. “Oouugghh..” Desahnya, lalu melahap itil.

itil terasa hangat dan basah.

Bokong Teh Ivana bergerak-gerak diatas wajah gua. Vaginanya tepat berada dimulut gua. Sementara itil keluar masuk mulutnya.

Teh Ivana makin menikmati tugasnya. Sesekali dia menyedot itil dalam-dalam, lalu menjilati dan mengulum bola dragonbol. “Ahhh, enak teh..” Kata gua. Kali ini bukan pertanyaan, ini pernyataan.

Teh Ivana tiba-tiba menegakkan badannya.

Sambil mengocok itil, dia merangkak naik dan mengurung itil kedalam vaginanya. Jleb!

“Aahh, Fak!” Respon gua, tak menyangka dia langsung ke topik utama.

Teh Ivana membelakangi gua dengan kedua tangan memegang sandaran punggung kasur. itil terlihat timbul tenggelam dari bokong Teh Ivana yang gua liat dari belakang.

Gua memegang bokong Teh Ivana, membantunya bergerak naik-turun, maju-mundur. “Sssssstttt, mmaaasss… Aaahhhh” Desah desis Teh Ivana yang makin cepat menggenjot.

Lalu gua bangun dari tidur dan memeluk Teh Ivana dari belakang. Sambil meremas payudaranya, gua menciumi punggungnya.

Teh Ivana makin beringas, dia merangkul gua dengan posisi membelakangi. Nikmat sekali. Lalu Teh Ivana meminta berciuman, dengan senang hati gua melayaninya. Kedua tangan Teh Ivana yang setengah merangkul leher gua, membuat ketiaknya tampak menggairahkan. Sesekali gua memberikan kecupan ke ketiaknya.

Meski tidak harum, tapi juga tidak bau. Yang penting, tidak ada bulunya!

09:18 WIB

Badan Teh Ivana yang bahenol tak dapat gua tahan lebih lama berada diatas paha gua.

Gua lalu* memintanya berdiri, dan mengambil posisi doggy tanpa melepas itil yang betah didalam vagina Teh Ivana.

Teh Ivana berdiri dengan lututnya, masih dengan posisi membelakangi gua.

Gua sedikit membungkukkan punggungnya, sambil meremas payudara. Teh Ivana bergeliat saat lehernya gua kecup-kecup.

“Keluarin didalem, Teh?” Tanya gua saat bergerak lambat menikmati ciuman.

“Jangan dikeluarin dulu..” Bisiknya, manja.

Gua kemudian menghadapkan wajahnya kearah jam dinding sambil melumat bibirnya.

Dia yang paham maksud gua lalu mendorong bokong gua agar masuk lebih dalam. Gua lalu berakselerasi tingkat tinggi.

“Plak! Plak! Plak!” Suara yang keluar, diikuti desahan Teh Ivana, “Aaakkhhh, aaaaakkhh, Maasss.. Sssttt..”

Tak butuh lama dari serangan terakhir, itil memuntahkan ludah naga didalam vagina Teh Ivana.

“Oouugghhh…” Desah gua, panjang.

Teh Ivana langsung membenamkan wajahnya dikasur dengan posisi nungguing. Tampak sperma gua secara perlahan keluar dari dalam vagina Teh Ivana. “Sssstttt.. Hhhaaaahhh..” Desisnya.

Setelah sepertinya sperma sudah banyak yang keluar, Teh Ivana merobohkan badannya, tidur tungkerep.

Lalu bersuara pelan, “Reni udah aku titipin sama temen. Nanti langsung aku jemput dirumahnya..”

Bersambung ~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *